Tanpa judul
Tantangan Karir Gen Z di Era Digital: Menghadapi Ketidakpastian di Dunia Kerja
Pernahkah Anda merasa bahwa berita tentang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) semakin sering muncul akhir-akhir ini? Data menunjukkan bahwa jumlah karyawan yang mengalami PHK dalam tiga tahun terakhir memang terus meningkat tanpa menunjukkan tanda-tanda penurunan. Di tengah situasi ini, Gen Z sebagai angkatan kerja termuda menghadapi tantangan terberat dalam mencari pekerjaan dan membangun karir yang stabil.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah lowongan kerja yang tersedia setiap tahun jauh di bawah angka pencari kerja yang terdaftar. Pada tahun 2023, perbandingan antara pencari kerja dan lowongan yang tersedia mencapai 6:1. Artinya, dari 600 orang pencari kerja di suatu kota, hanya sekitar 100 orang yang berhasil terserap ke dunia kerja, sementara 500 lainnya terus menganggur.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa Gen Z menghadapi tantangan karir yang jauh lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya? Dan bagaimana mereka bisa bertahan di tengah ketidakpastian dunia kerja saat ini?
Faktor-Faktor yang Mempersulit Karir Gen Z
Transformasi Digital dan Otomatisasi
Dalam 15 tahun terakhir, dunia mengalami transisi industri besar-besaran dari era berbasis tenaga manusia menuju era digital. Perkembangan teknologi dan adopsi AI telah mengubah cara bekerja di berbagai sektor. Banyak perusahaan melakukan PHK bukan hanya karena kondisi ekonomi yang buruk, tetapi juga karena beberapa posisi pekerjaan sudah tidak relevan lagi di era digital.
Contohnya, departemen customer service yang dulu membutuhkan empat orang kini bisa dijalankan oleh satu orang dengan bantuan AI dan chatbot. Begitu pula dengan posisi desainer dan programmer, di mana perusahaan menengah yang dulu membutuhkan 2-3 orang kini hanya memerlukan satu orang dengan dukungan teknologi.
Penyerapan Tenaga Kerja yang Menurun
Dulu, perusahaan-perusahaan besar seperti Astra, BCA, Indofood, atau Unilever rutin membuka program Management Trainee (MT) dengan kuota besar di berbagai kampus. Namun kini, jumlah lowongan tersebut semakin sedikit dan sulit diperoleh, sementara jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat setiap tahun.
Data menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2024 mencapai 7,5 juta orang. Artinya, setiap angkatan kerja baru (baik lulusan perguruan tinggi maupun SMA/SMK) yang berjumlah sekitar 4 juta orang harus bersaing dengan 7,5 juta pencari kerja yang sudah ada sebelumnya.
Krisis Ekonomi dan Tech Winter
Situasi ini diperparah dengan fenomena "tech winter" di mana perusahaan-perusahaan startup teknologi melakukan layoff besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir. Contoh nyatanya adalah kebangkrutan PT Sritech yang sempat menjadi perbincangan publik.
Selain itu, gejolak ekonomi seperti inflasi tinggi dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar (yang sempat mencapai Rp17.000) semakin mempersulit situasi ketenagakerjaan bagi Gen Z.
Tuntutan Hidup yang Lebih Tinggi untuk Gen Z
Generasi Z tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Mayoritas referensi mereka, mulai dari gaya hidup hingga persepsi tentang kesuksesan, berasal dari internet. Hal ini membentuk pola hidup baru termasuk kesulitan menabung dan kecenderungan mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan.
Gen Z juga memiliki tuntutan kelayakan hidup yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Untuk bisa berkompetisi di dunia kerja saat ini, mereka membutuhkan berbagai perangkat dan layanan tambahan seperti:
- Smartphone dengan spesifikasi memadai
- Laptop untuk bekerja
- Paket data internet
- Langganan software pendukung produktivitas
- Layanan hiburan untuk menjaga kesehatan mental
Kebutuhan-kebutuhan ini tentu memengaruhi ekspektasi gaji dan tuntutan finansial yang lebih tinggi, sementara peluang kerja justru semakin menyempit.
Stigma dan Kesalahpahaman terhadap Gen Z
Di tengah kesulitan yang dihadapi, Gen Z sering menjadi target hujatan dan kesalahpahaman dari masyarakat. Mereka kerap diberi stigma negatif seperti:
- Generasi yang lemah dan gampang stres
- Tidak sabaran dan ingin segalanya serba instan
- Suka mengeluh di media sosial
- Terlalu fokus pada work-life balance
- Sulit menabung dan suka berhutang
Padahal, tantangan yang dihadapi Gen Z jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka adalah angkatan kerja yang paling terdampak saat krisis pandemi, mengalami inflasi tinggi, dan harus bersaing tidak hanya dengan sesama pencari kerja tetapi juga dengan teknologi AI dan otomatisasi.
Indonesia Emas 2045: Harapan atau Ilusi?
Indonesia saat ini tengah mengalami bonus demografi, dan pemerintah memiliki visi Indonesia Emas 2045 yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maju menjelang 100 tahun kemerdekaannya. Visi ini berfokus pada penguatan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan berdaya saing tinggi.
Namun, melihat ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan yang tersedia, apakah visi ini realistis? Masalah permintaan dan penawaran di dunia kerja masih sangat tidak seimbang, menyebabkan angka pengangguran tetap tinggi.
Perbandingan Generasi dalam Mencari Kerja
Orang yang lahir sebelum tahun 1980-an relatif lebih mudah mendapatkan pekerjaan, meskipun pilihannya terbatas seperti PNS, polisi, TNI, atau pegawai BUMN. Ketika berhasil masuk ke sektor-sektor tersebut, mereka umumnya aman seumur hidup karena kecil kemungkinannya untuk dipecat.
Berbeda dengan generasi yang lahir di akhir 90-an hingga sekarang, persaingan jauh lebih ketat. Bahkan untuk posisi di instansi pemerintah atau BUMN yang dulu relatif mudah diakses, kini sangat sulit diperoleh. Persaingan tidak hanya terjadi antar satu generasi, tetapi juga antar generasi, dan bahkan dengan AI dan robot otomatisasi.
Di era sekarang, keterampilan administratif dasar seperti mengetik atau mencetak dokumen tidak lagi menjadi nilai tambah. Pekerja dituntut untuk terus mengembangkan diri agar tidak kehilangan posisinya di perusahaan.
Solusi untuk Gen Z dalam Menghadapi Krisis Karir
1. Bekerja di Sektor UMKM
Era transisi industri mendorong sektor non-formal seperti UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) untuk berkembang dan menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja baru. Data menunjukkan bahwa sektor UMKM menyerap 97% angkatan kerja atau sekitar 117 juta pekerja di Indonesia.
Meskipun seringkali dipandang kurang bergengsi, UMKM menjadi penyelamat ekonomi Indonesia ketika sektor formal tidak mampu menyerap angkatan kerja baru. Tingkat penyerapan tenaga kerja UMKM di Indonesia jauh lebih dominan dibandingkan negara-negara lain.
Jika Anda belum bisa bekerja di sektor formal, jangan malu untuk bergabung dengan UMKM. Sektor ini perlu ditingkatkan agar bisa menjadi bisnis yang lebih kuat dan stabil sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru yang layak.
2. Memulai Bisnis Sendiri
Jika Anda memiliki modal yang cukup, mental yang kuat, dan mau bekerja keras, memulai bisnis sendiri bisa menjadi pilihan. Meskipun berisiko tinggi, potensi keuntungannya juga besar (high risk, high return).
Indonesia sangat membutuhkan pengusaha-pengusaha baru. Saat ini, rasio kewirausahaan di Indonesia hanya 3,3% dari total angkatan kerja, jauh di bawah Malaysia (4,8%) dan Singapura (8,8%).
Dengan kondisi Indonesia yang kurang menarik bagi investor asing dan banyak bisnis yang memindahkan operasinya ke negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, peningkatan jumlah pengusaha lokal sangat penting untuk menyerap tenaga kerja.
3. Bekerja sebagai Freelancer
Jika belum memiliki modal atau belum siap menjadi wirausaha, bekerja sebagai freelancer bisa menjadi langkah awal. Pasar freelance di Indonesia masih tinggi, apalagi jika Anda mampu menjangkau pasar global.
Platform seperti Upwork, Fiverr, dan Freelancer.com menawarkan peluang bagi Gen Z untuk memasarkan keterampilan mereka ke klien internasional dengan bayaran yang lebih kompetitif dibandingkan pasar lokal.
4. Mencari Peluang di Luar Negeri
Dengan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah dan lowongan kerja yang menurun di Indonesia, bekerja di luar negeri menjadi pilihan yang logis. Negara-negara dengan demografi menua seperti Jepang, Korea, atau Taiwan, atau negara dengan populasi lebih sedikit seperti Australia dapat menjadi tujuan.
Program seperti Working Holiday Visa (WHV) menjadi populer karena menawarkan penghasilan yang signifikan, bahkan untuk pekerjaan manual. Gaji bulanan bisa mencapai Rp30-50 juta, lebih tinggi dari gaji beberapa manajer di Indonesia.
Namun, untuk bekerja di luar negeri, Anda perlu mempersiapkan keterampilan yang dibutuhkan, terutama penguasaan bahasa Inggris yang sudah menjadi keharusan, bukan lagi keterampilan eksklusif.
Penutup: Optimisme di Tengah Ketidakpastian
Meskipun kondisi tenaga kerja di Indonesia tidak dalam keadaan ideal, Gen Z harus tetap memandang masa depan dengan optimisme. Kesempatan masih ada, meskipun harganya mahal. Bagi yang sudah memiliki pekerjaan, manfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin dan terus kembangkan keterampilan Anda.
Bagi pengusaha, ambil risiko untuk membangun bisnis karena Indonesia membutuhkan lebih banyak pengusaha baru. Dan bagi pencari kerja, terus tingkatkan keterampilan dengan fokus. Gen Z sering menghadapi masalah fokus karena terbiasa dengan berbagai stimulus dari media sosial, namun memiliki minimal satu hard skill yang membedakan Anda dari yang lain sangat penting.
Pada akhirnya, keselamatan karir kita berada di tangan kita sendiri. Di tengah ekonomi yang bergejolak, lapangan kerja yang semakin sulit, dan pasar saham yang tidak stabil, kemampuan untuk beradaptasi dan terus berkembang menjadi kunci keberhasilan.
Bagaimana pengalaman Anda sebagai Gen Z dalam mencari pekerjaan atau membangun karir? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar di bawah ini. Jangan lupa subscribe ke newsletter Ardiverse untuk mendapatkan update artikel terbaru seputar karir, teknologi, dan produktivitas!
Jika Anda menikmati artikel ini, jangan ragu untuk membagikannya ke teman-teman yang mungkin membutuhkan informasi ini. Anda juga bisa mengikuti Ardiverse di Instagram dan saluran whatsapp untuk mendapatkan tips karir dan produktivitas setiap hari.
FAQ (Frequently Asked Questions)
1. Apakah benar Gen Z lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan generasi sebelumnya?
Ya, berdasarkan data, Gen Z menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencari pekerjaan. Faktor-faktor seperti persaingan yang lebih ketat, jumlah pencari kerja yang lebih banyak, serta dampak transformasi digital dan otomatisasi membuat peluang kerja di sektor formal semakin terbatas dibandingkan era generasi sebelumnya.
2. Skill apa yang paling dibutuhkan untuk Gen Z agar bisa bersaing di dunia kerja saat ini?
Gen Z perlu menguasai kombinasi hard skill dan soft skill. Hard skill yang relevan dengan industri 4.0 seperti pemrograman, analisis data, digital marketing, dan desain UX/UI sangat dicari. Sementara soft skill seperti adaptabilitas, kemampuan berkomunikasi, pemecahan masalah kompleks, dan kecerdasan emosional juga menjadi faktor pembeda di dunia kerja modern.
3. Bagaimana cara terbaik untuk Gen Z memulai karir di tengah keterbatasan lowongan kerja?
Beberapa strategi yang dapat ditempuh antara lain: memulai dari magang atau program apprenticeship untuk mendapatkan pengalaman, mengembangkan portfolio yang kuat melalui proyek freelance, membangun jaringan profesional melalui LinkedIn dan komunitas industri, serta mempertimbangkan jalur wirausaha atau bekerja di UMKM yang sedang berkembang.
4. Apakah benar AI dan otomatisasi akan menggantikan banyak pekerjaan di masa depan?
AI dan otomatisasi memang akan menggantikan beberapa jenis pekerjaan, terutama yang bersifat repetitif dan dapat diotomatisasi. Namun, teknologi ini juga menciptakan jenis pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan berbeda. Kuncinya adalah beradaptasi dengan perubahan teknologi dan mengembangkan keterampilan yang sulit diotomatisasi seperti kreativitas, pemikiran kritis, dan kecerdasan emosional.
5. Bagaimana cara mengelola ekspektasi karir yang realistis sebagai Gen Z di Indonesia?
Mengelola ekspektasi karir sebagai Gen Z di Indonesia membutuhkan keseimbangan antara aspirasi dan realitas pasar kerja. Mulailah dengan riset mendalam tentang industri yang Anda minati, termasuk prospek pertumbuhan dan gaji rata-rata. Tetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang realistis, siap memulai dari posisi entry-level, dan fokus pada pengembangan keterampilan yang berharga bagi industri tersebut. Pertimbangkan juga jalur karir non-tradisional seperti freelancing atau kewirausahaan sebagai alternatif.