Fenomena Diskriminasi Pekerjaan di Indonesia: Mengapa Kita Mudah Merendahkan Profesi Orang Lain?
Di Indonesia, pertanyaan "kerja di mana?" seringkali menjadi pembuka percakapan yang menentukan bagaimana seseorang akan diperlakukan selanjutnya. Fenomena merendahkan pekerjaan orang lain telah menjadi budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. Pekerjaan tidak lagi sekadar cara mencari nafkah, tetapi telah bertransformasi menjadi simbol status sosial yang menentukan "nilai" seseorang di mata masyarakat.
Saat berpapasan dengan tukang ojek online, pedagang kaki lima, atau petugas kebersihan, berapa banyak dari kita yang secara tidak sadar langsung membuat asumsi tentang latar belakang pendidikan, kemampuan, atau bahkan karakter mereka? Fenomena ini menarik untuk dibahas karena mencerminkan bagaimana konstruksi sosial telah membentuk cara kita memandang dan menilai orang lain berdasarkan profesi mereka.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa masyarakat Indonesia mudah merendahkan pekerjaan orang lain, faktor-faktor psikologis dan sosial yang melatarbelakanginya, serta bagaimana kita dapat membangun perspektif yang lebih sehat dalam memandang keberagaman profesi.
Akar Masalah: Stratifikasi Sosial dalam Budaya Indonesia
Warisan Sistem Kasta Modern
Di Indonesia, stratifikasi sosial bukan konsep asing. Meskipun sistem kasta secara resmi tidak ada, namun praktiknya masih terasa dalam penilaian masyarakat terhadap pekerjaan. Pekerjaan kantoran, dokter, pengacara, atau posisi di perusahaan besar dianggap prestise, sementara profesi seperti ojek online, buruh bangunan, atau pedagang kaki lima sering dipandang sebelah mata.
Menurut studi sosiologi, pembagian kelas sosial berdasarkan pekerjaan ini dikenal dengan konsep social stratification—kecenderungan manusia untuk mengelompokkan diri berdasarkan status sosial dan ekonomi. Di Indonesia, stratifikasi ini tidak hanya tentang penghasilan, tetapi juga tentang label pekerjaan yang disandang seseorang.
Dr. Sarlito Wirawan, psikolog sosial terkenal Indonesia, dalam bukunya "Psikologi Sosial" menjelaskan bahwa budaya feodal yang pernah ada di Indonesia turut membentuk pola pikir masyarakat dalam menilai status pekerjaan. Warisan budaya ini telah menciptakan hierarki tidak tertulis dalam memandang profesi.
Pendidikan dan Konstruksi Nilai Pekerjaan
Sejak kecil, anak-anak Indonesia sudah diperkenalkan dengan konsep "pekerjaan baik" versus "pekerjaan biasa". Orang tua sering mendorong anak untuk menjadi dokter, insinyur, atau pegawai BUMN, dan jarang yang mendorong anaknya untuk menjadi petani sukses atau pedagang inovatif.
Sistem pendidikan kita juga tidak sepenuhnya mendukung penghargaan terhadap beragam profesi. Penelitian dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa 78% buku pelajaran dasar mendorong cita-cita konvensional seperti dokter, guru, dan pilot, dengan sangat sedikit representasi profesi lain yang sama pentingnya bagi masyarakat.
Aspek Psikologis di Balik Fenomena Merendahkan Pekerjaan Orang Lain
Social Comparison Theory: Ketika Membandingkan Menjadi Kebiasaan
Salah satu penjelasan psikologis mengapa orang mudah merendahkan pekerjaan orang lain adalah melalui Social Comparison Theory yang dikembangkan oleh psikolog Leon Festinger. Teori ini menjelaskan bahwa manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain untuk menentukan nilai dirinya.
Di Indonesia, kebiasaan membandingkan ini sangat kental dalam budaya. Pekerjaan, gaji, gelar akademik, bahkan tempat kerja dijadikan alat ukur untuk menilai siapa yang lebih sukses dan lebih layak dihormati. Untuk banyak orang, melihat profesi orang lain yang dianggap "lebih rendah" menciptakan rasa puas diri—seolah-olah dengan melihat ada yang "di bawah", mereka bisa merasa lebih tinggi tanpa perlu benar-benar memperbaiki diri.
Sejak kecil, kita dibiasakan dengan kompetisi: siapa yang nilainya lebih tinggi, siapa yang masuk universitas lebih terkenal, siapa yang kerja di kantor lebih besar. Pola pikir ini terbawa hingga dewasa dan menciptakan lingkaran persaingan sosial yang tidak pernah selesai.
Labeling Theory: Kekuatan Label Sosial
Teori lain yang menjelaskan fenomena ini adalah Labeling Theory. Teori ini menjelaskan bahwa persepsi tentang seseorang sangat dipengaruhi oleh label yang ditempelkan masyarakat. Dalam konteks dunia kerja, label ini muncul melalui stereotip.
Misalnya, jika seseorang bekerja sebagai penjual kaki lima, masyarakat langsung melabelinya sebagai "kerja rendahan", "tidak membutuhkan pendidikan tinggi", atau "pasti penghasilannya kecil". Sebaliknya, pegawai bank langsung dilabeli "sukses", "stabil", dan "berkelas".
Padahal realitasnya jauh lebih kompleks. Ada penjual kaki lima yang penghasilannya lebih tinggi dari pegawai bank. Ada kasir minimarket yang lebih jujur dan berdedikasi dibanding eksekutif korporat yang korup. Namun, karena masyarakat sudah menempelkan label tertentu pada profesi-profesi tersebut, persepsinya menjadi kaku dan tidak objektif.
Yang lebih memprihatinkan, label ini bukan hanya menempel di mata orang lain. Seringkali label ini juga masuk ke dalam pikiran orang yang bekerja di profesi itu sendiri, menciptakan internalized stigma yang sulit dihilangkan.
Fundamental Attribution Error: Kesalahan dalam Menilai
Fenomena fundamental attribution error juga berperan besar dalam kecenderungan merendahkan pekerjaan orang lain. Ini adalah kecenderungan manusia untuk terlalu cepat mengaitkan tindakan atau kondisi orang lain ke karakter pribadinya tanpa mempertimbangkan faktor situasi atau kondisi eksternal.
Contohnya, jika ada orang bekerja sebagai ojek online, banyak orang langsung berpikir, "Pasti dia malas sekolah atau hidupnya gagal." Padahal faktanya, dia mungkin saja lulusan sarjana yang tidak mendapat peluang kerja yang sesuai, atau mungkin sedang membantu keluarganya bertahan hidup.
Di Indonesia, fundamental attribution error ini semakin parah karena dibumbui budaya sosial yang suka menghakimi. Orang diajarkan dari kecil untuk cepat memberikan "cap" pada orang lain tanpa memahami latar belakang mereka. Akibatnya, profesi yang terlihat sederhana langsung diasosiasikan dengan kegagalan, kemalasan, atau kebodohan—bukan karena fakta, tapi karena asumsi yang dangkal.
Dampak Sosial dari Budaya Merendahkan Pekerjaan
Menciptakan Tekanan Psikologis
Budaya merendahkan pekerjaan menciptakan tekanan psikologis yang berat bagi mereka yang bekerja di sektor yang dianggap "kurang prestisius". Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Psikolog Indonesia, sekitar 65% pekerja di sektor informal mengalami stres dan kecemasan sosial karena stigma yang melekat pada pekerjaan mereka.
Tekanan ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental mereka tetapi juga berdampak pada produktivitas dan kepuasan kerja. Bayangkan bagaimana rasanya bekerja keras setiap hari namun tetap dipandang rendah oleh masyarakat hanya karena label pekerjaan yang disandang.
Mempersempit Pilihan Karir
Fenomena ini juga mempersempit pilihan karir generasi muda. Banyak orang muda yang akhirnya memilih jalur karir berdasarkan prestige sosial, bukan berdasarkan minat, bakat, atau passion mereka. Akibatnya, kita memiliki banyak profesional yang tidak bahagia dengan pekerjaannya atau bahkan tidak kompeten di bidangnya.
Sebuah survei oleh Kemnaker pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 42% lulusan perguruan tinggi memilih pekerjaan berdasarkan status sosial daripada kecocokan dengan minat dan kemampuan mereka. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan dan menunjukkan betapa budaya stratifikasi sosial telah mendistorsi pilihan karir generasi muda.
Menghambat Inovasi dan Kemajuan Ekonomi
Pada tingkat makro, budaya merendahkan pekerjaan tertentu dapat menghambat inovasi dan kemajuan ekonomi. Ketika masyarakat hanya menghargai jalur karir konvensional, sektor-sektor penting seperti pertanian, perdagangan kecil, atau kerajinan tradisional kehilangan bakat-bakat potensial yang bisa membawa inovasi.
Padahal, negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang justru sangat menghargai pekerja terampil di berbagai sektor, termasuk yang dianggap "blue-collar". Di Jerman, sistem pendidikan vokasi sangat dihormati dan menghasilkan tenaga kerja terampil yang menjadi tulang punggung industri mereka.
Projection: Ketika Merendahkan Jadi Pelarian
Insecurity dan Mekanisme Pertahanan Diri
Ironis sekali, seringkali orang yang paling keras merendahkan pekerjaan orang lain justru adalah orang yang paling insecure. Fenomena ini dijelaskan melalui konsep projection—mekanisme pertahanan diri di mana orang memindahkan perasaan negatif yang ada di dirinya ke orang lain.
Misalnya, seseorang yang sebenarnya takut dianggap gagal karena hidupnya tidak sesuai standar sosial, daripada mengakui kegagalannya sendiri, lebih memilih mengkritik profesi orang lain agar dia bisa merasa lebih baik. Dia membutuhkan "korban" sebagai pelampiasan agar dirinya tidak terlihat "seburuk itu" di mata orang lain.
Di Indonesia, pola seperti ini semakin jelas karena standar kesuksesan kita dibangun berdasarkan ilusi: harus punya gelar, kerja kantoran, gaji besar, rumah mewah, mobil bagus. Kegagalan mencapai standar itu menciptakan rasa malu yang berat, dan untuk mengurangi malu itu, orang lebih memilih merendahkan orang lain yang secara sosial dianggap "di bawah" mereka.
Lingkaran Setan Social Projection
Yang lebih menyedihkan, projection ini menciptakan lingkaran setan. Semakin sering seseorang merendahkan profesi orang lain, semakin dalam juga rasa gagal yang dia pendam. Ini karena merendahkan orang lain hanya memberikan rasa superior yang semu dan sementara, tanpa benar-benar menyelesaikan masalah insecurity yang sebenarnya.
Jika budaya projection ini tidak disadari, kita akan terus hidup dalam lingkaran saling menjatuhkan—bukannya membangun masyarakat yang saling mendukung, tapi masyarakat yang berlomba-lomba mencari korban untuk merasa lebih baik tentang diri sendiri.
Bagaimana Mengubah Perspektif Kita?
Mengembangkan Empati dan Pemahaman
Langkah pertama untuk mengubah perspektif adalah mengembangkan empati dan pemahaman terhadap berbagai profesi. Kita perlu menyadari bahwa setiap pekerjaan, sekecil apa pun dalam pandangan masyarakat, memiliki nilai dan kontribusi bagi kehidupan bersama.
Mari sejenak membayangkan: bagaimana jadinya kota kita tanpa petugas kebersihan? Bagaimana kita bisa mendapatkan makanan tanpa petani? Bagaimana rumah kita bisa dibangun tanpa tukang bangunan? Setiap profesi memiliki peran vital dalam ekosistem sosial dan ekonomi kita.
Salah satu cara mengembangkan empati adalah dengan berusaha mengenal cerita di balik setiap profesi. Humans of New York Indonesia adalah contoh prakarsa yang berusaha mengangkat cerita-cerita personal dari berbagai latar belakang profesi, menunjukkan kemanusiaan di balik label pekerjaan.
Mendidik Generasi Muda dengan Perspektif Baru
Perubahan harus dimulai dari pendidikan. Sekolah-sekolah perlu memasukkan nilai penghargaan terhadap berbagai profesi ke dalam kurikulum mereka. Anak-anak perlu diajari bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari gelar atau jabatan, tetapi juga dari kontribusi, passion, dan kebahagiaan dalam bekerja.
Program seperti "Career Day" di sekolah bisa mengundang profesional dari berbagai bidang—bukan hanya dokter dan insinyur, tetapi juga petani sukses, pengusaha kuliner lokal, atau seniman tradisional—untuk berbagi pengalaman dan menginspirasi siswa.
Mengubah Narasi Media dan Budaya Populer
Media dan budaya populer memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang berbagai profesi. Film, sinetron, dan konten media sosial seringkali memperkuat stereotip tentang "pekerjaan sukses" versus "pekerjaan biasa".
Kita membutuhkan lebih banyak narasi yang menampilkan keberhasilan dan kebahagiaan dari berbagai jalur karier. Cerita-cerita tentang petani muda inovatif, pedagang yang membangun bisnis berkelanjutan, atau tukang ojek yang berhasil membiayai pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi, perlu mendapat tempat dalam media populer kita.
Kesimpulan: Menuju Masyarakat yang Lebih Inklusif
Merendahkan pekerjaan orang lain adalah cerminan dari konstruksi sosial yang telah lama tertanam dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini bukan hanya tentang status sosial, tetapi juga tentang bagaimana kita memandang nilai manusia dan kontribusi mereka dalam kehidupan bersama.
Mengubah perspektif ini bukanlah tugas mudah. Diperlukan kesadaran kolektif dan upaya dari berbagai pihak—mulai dari individu, keluarga, institusi pendidikan, media, hingga pembuat kebijakan—untuk menciptakan budaya yang lebih menghargai keberagaman profesi.
Pada akhirnya, pekerjaan bukanlah ukuran sejati dari nilai atau kualitas seseorang. Semua orang memiliki peran dan kontribusi yang berbeda, dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah hanya berdasarkan pekerjaan semata. Yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai dan menghormati setiap orang apa pun profesinya, karena pada akhirnya semua pekerjaan memiliki makna dan tujuan yang sama: untuk bertahan hidup dan memberikan yang terbaik bagi diri sendiri dan masyarakat.
Jangan biarkan gengsi sosial membuat kita lupa akan hakikat dari bekerja dan nilai kemanusiaan yang jauh melampaui label pekerjaan.
Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena ini? Apakah Anda pernah mengalami atau menyaksikan diskriminasi berdasarkan pekerjaan? Bagikan pengalaman dan pandangan Anda di kolom komentar di bawah.
Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikannya ke media sosial Anda. Semakin banyak orang yang sadar akan fenomena ini, semakin besar kemungkinan kita dapat mengubah perspektif masyarakat tentang nilai dari berbagai profesi.
Untuk membaca artikel lainnya tentang psikologi sosial dan fenomena masyarakat Indonesia, jangan lupa untuk berlangganan newsletter kami.
FAQ (Frequently Asked Questions)
Apakah fenomena merendahkan pekerjaan hanya terjadi di Indonesia?
Tidak, fenomena ini terjadi di banyak negara, terutama di negara-negara dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi. Namun, di Indonesia fenomena ini memiliki karakteristik unik karena dipengaruhi oleh faktor budaya, sejarah feudalisme, dan sistem sosial yang kuat. Beberapa negara maju seperti Jerman dan Skandinavia memiliki penghargaan yang lebih tinggi terhadap berbagai jenis profesi, termasuk pekerja manual terampil.
Bagaimana cara mengatasi rasa rendah diri akibat stigma pekerjaan?
Mengatasi rasa rendah diri akibat stigma pekerjaan membutuhkan pendekatan dari dalam dan luar. Dari dalam, penting untuk memisahkan nilai diri dari label pekerjaan. Ingat bahwa pekerjaan hanyalah salah satu aspek kehidupan, bukan penentu nilai Anda sebagai manusia. Fokus pada kontribusi yang Anda berikan, keahlian yang Anda kembangkan, dan bagaimana pekerjaan Anda membantu orang lain. Dari luar, carilah komunitas yang mendukung dan menghargai profesi Anda, serta teruslah mengembangkan keahlian untuk meningkatkan rasa percaya diri.
Mengapa generasi muda sekarang lebih memilih pekerjaan "kekinian" seperti influencer atau content creator?
Fenomena ini sebagian besar didorong oleh pergeseran nilai dan kemudahan akses teknologi. Generasi muda melihat bagaimana influencer dan content creator mendapatkan penghasilan tinggi dan pengakuan sosial yang besar dalam waktu relatif singkat. Selain itu, profesi digital ini menawarkan kebebasan, fleksibilitas, dan kesempatan untuk mengekspresikan diri yang mungkin tidak didapatkan di pekerjaan konvensional. Namun, penting untuk dipahami bahwa kesuksesan di bidang ini juga membutuhkan kerja keras, konsistensi, dan strategi yang tepat—tidak semudah yang terlihat di permukaan.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi diskriminasi berdasarkan pekerjaan?
Pemerintah dapat berperan melalui berbagai kebijakan, seperti: (1) Meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja di semua sektor, termasuk sektor informal; (2) Mengembangkan program pendidikan vokasi yang berkualitas dan dihargai setara dengan pendidikan akademik; (3) Melakukan kampanye publik yang menghargai kontribusi dari berbagai profesi; (4) Memberikan insentif kepada usaha mikro dan kecil untuk meningkatkan status dan penghasilan di sektor yang sering dipandang rendah; (5) Mengembangkan regulasi anti-diskriminasi yang melindungi pekerja dari segala bentuk diskriminasi berdasarkan profesi mereka.
Bagaimana cara mengajarkan anak-anak untuk menghargai semua jenis pekerjaan?
Orang tua dan pendidik dapat mengajarkan anak-anak menghargai semua jenis pekerjaan melalui beberapa cara: (1) Mengenalkan mereka pada berbagai profesi sejak dini, tidak hanya profesi "populer"; (2) Mengajak mereka bertemu dan berbicara dengan orang dari berbagai latar belakang pekerjaan; (3) Menghindari komentar merendahkan tentang pekerjaan tertentu di depan anak-anak; (4) Mendorong mereka untuk mengapresiasi layanan yang mereka terima dari berbagai profesi (seperti mengucapkan terima kasih kepada petugas kebersihan, satpam, dll.); (5) Mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh pekerjaannya, tetapi oleh karakternya dan bagaimana mereka memperlakukan orang lain.