Mengapa Banyak Sarjana Jadi Ojol? Ini Akar Masalahnya
Indonesia menghadapi fenomena yang mengejutkan sekaligus miris sekali dari segi sistem tenaga kerja Indonesia: semakin banyak lulusan sarjana yang memilih profesi sebagai ojek online (ojol) ketimbang bekerja di kantor sesuai gelar mereka. Fenomena ini bukan sekadar pilihan karier biasa, melainkan refleksi dari permasalahan sistemik yang kompleks dalam dunia pendidikan dan ketenagakerjaan Indonesia.
Banyak yang mengira bahwa sarjana yang jadi ojol adalah mereka yang kurang ambisi atau tidak memiliki skill yang memadai. Namun kenyataannya jauh lebih rumit dari asumsi tersebut. Pada artikel ini kita akan mengupas tuntas mengapa fenomena sarjana menjadi ojol semakin marak dan apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia?
Ketimpangan Jumlah Lulusan dan Lowongan Kerja
Produksi Lulusan Sarjana yang Berlebihan
Setiap tahun, Indonesia mencetak ratusan ribu lulusan sarjana dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan pertumbuhan institusi pendidikan tinggi dan pertumbuhan angka kelahiran di Indonesia. Namun, pertumbuhan jumlah lulusan ini tidak berimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja yang memadai.
Data menunjukkan bahwa rasio antara jumlah lulusan dan lowongan kerja yang tersedia terjadi ketimpangan. Kampus-kampus fokus pada pencetakan lulusan tanpa mempertimbangkan daya serap lapangan kerja. Sementara itu, industri membuka lowongan berdasarkan kebutuhan terbatas mereka, bukan berdasarkan jumlah pencari kerja yang membutuhkan pekerjaan.
Sistem Perekrutan yang Diskriminatif
Masalah semakin kompleks ketika banyak lowongan kerja formal yang sudah diatur untuk orang dalam atau lulusan dari kampus-kampus elit tertentu. Sarjana dari perguruan tinggi swasta kecil atau daerah pinggiran memiliki kesempatan yang sangat terbatas dan sulit untuk menembus sistem ini.
Fenomena kolusi dan nepotisme dalam perekrutan pencari kerja membuat banyak sarjana yang berkualitas kalah sebelum berkompetisi. Mereka mengirim ratusan lamaran kerja selama berbulan bulan hingga bertahun-tahun, namun hanya mendapat penolakan atau bahkan tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Kualitas Pekerjaan Formal yang Menurun
Persyaratan Berlebihan dengan Gaji Minim
Paradoks didalam dunia kerja formal Indonesia memiliki persyaratan yang berlebihan untuk posisi dengan gaji yang tidak memadai. Posisi entry level meminta pengalaman 2-3 tahun, posisi administrasi standar membutuhkan penguasaan lima tools sekaligus, bahasa Inggris aktif, ketahanan terhadap tekanan, fleksibilitas lokasi, dan kesediaan lembur tanpa batas waktu.
Semua persyaratan tersebut ditawarkan dengan gaji UMR atau bahkan di bawahnya. Di kota-kota besar, gaji UMR sama sekali tidak mencukupi untuk biaya hidup, apalagi untuk menabung atau membantu keluarga. Inilah yang menjadikan lulusan Sarjana memilih sebagai Seorang ojek online.
Eksploitasi Tenaga Kerja Baru
Banyak perusahaan mengeksploitasi lulusan baru melalui sistem kontrak pendek dengan gaji yang tergolong rendah, dan beban kerja yang tinggi. Proses rekrutmen yang berlapis dan panjang sering kali tidak efisien dan menguras kandidat. Mulai dari waktu, tenaga, hingga Material seperti uang. Setelah lolos, status kerja mereka tidak jelas - banyak diantaranya yang bekerja tanpa jaminan sosial, tanpa BPJS, dan tanpa kepastian kontrak jangka panjang, hingga bisa saja di PHK tanpa penjelasan yang jelas.
Ojol sebagai Pilihan Rasional
Kemudahan Akses dan Penghasilan Langsung
Di tengah kesulitan menembus dunia kerja formal, sektor ojek online menawarkan akses yang sangat mudah dan penghasilan langsung. Tidak perlu pengalaman kerja, IPK tinggi, surat rekomendasi, atau koneksi orang dalam. Cukup memiliki motor, SIM, HP, dan keberanian untuk mencari orderan di jalan.
Bagi banyak sarjana, ojol bukan pilihan pertama, tapi seringkali menjadi satu-satunya pilihan yang realistis. Uang bisa langsung dibawa pulang, waktu fleksibel, dan bisa langsung membantu keluarga tanpa menunggu proses rekrutmen yang rumit.
Perbandingan Penghasilan yang Mengejutkan
Realitas mengejutkan adalah bahwa penghasilan ojol seringkali lebih tinggi daripada gaji pekerja kantoran. Driver ojol yang rajin bisa meraup Rp150.000-250.000 per hari. Jika dikalkulasi dengan 26 hari kerja, penghasilan bulanan bisa mencapai Rp5,2 juta. Lebih besar dibandingkan dengan pegawai administrasi yang digaji Rp3,5 juta per bulan, harus bekerja Senin-Sabtu, absen terlambat kena potongan, lembur tidak dibayar, dan setiap hari duduk mengerjakan laporan tanpa ujung yang jelas.
Inflasi Gelar Sarjana
Kehilangan Nilai Sosial dan Ekonomis
Gelar sarjana yang dulunya memberikan status sosial yang jelas kini kehilangan kekuatannya. Bukan karena gelar tidak penting, tetapi karena jumlah sarjana yang lulus setiap tahun semakin banyak sementara peluang kerja yang relevan tidak bertambah sejalan.
Fenomena inflasi gelar sarjana membuat daya saing otomatis menurun. Banyak lulusan yang memiliki gelar tetapi kemampuan praktek yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Sistem pendidikan tinggi Indonesia masih mengedepankan teori dan hafalan, sehingga kurang memberikan pengalaman nyata yang bisa langsung diaplikasikan dalam dunia kerja.
Krisis Identitas Profesi
Krisis identitas profesi berdampak pada bagaimana sarjana memandang masa depan. Mereka sadar bahwa menunggu pekerjaan ideal sesuai jurusan adalah sesuatu yang tidak realistis. Banyak yang kemudian memilih bekerja di bidang lain meskipun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan demi mendapatkan penghasilan stabil.
Dampak Psikologis dan Sosial
Tekanan Mental dan Stigma Sosial
Krisis ini menimbulkan tekanan psikologis. Banyak sarjana merasa gelar yang mereka dapatkan tidak berguna. Mereka menghadapi stigma sosial, merasa gagal memenuhi ekspektasi keluarga, dan berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin kehidupan yang layak.
Adaptasi sebagai Bentuk Survival
Penting untuk memahami bahwa menjadi ojol bukan bentuk kegagalan, tetapi bentuk adaptasi atau survival. Ini adalah respons cepat dari generasi yang dituntut mandiri namun diberi pilihan yang sulit. Mereka tidak kehilangan ambisi atau tujuan, banyak yang tetap belajar dan mencari peluang lain di sela-sela mengantarkan penumpang atau makanan.
Solusi dan Rekomendasi
Reformasi Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan tinggi perlu direformasi untuk lebih relevan dengan kebutuhan industri dan pekerjaan, tanpa mengesampingkan pendidikan yang kritis. Kurikulum harus lebih fokus pada praktik dan pengembangan skill yang dibutuhkan pasar kerja. Kerjasama antara perguruan tinggi dan industri perlu diperkuat.
Regulasi Ketenagakerjaan yang Lebih Ketat
Pemerintah perlu mengawasi secara ketat pelanggaran upah minimum dan praktik eksploitasi tenaga kerja. Peraturan yang melindungi hak-hak pekerja dan kebijakan yang mengarahkan perusahaan untuk memberikan pelatihan dan kesempatan berkembang sangat diperlukan.
Pengembangan Ekonomi Kreatif dan Digital
Pemerintah perlu memperkuat infrastruktur ekonomi yang bisa menampung tenaga kerja terdidik dalam skala besar. Pengembangan sektor ekonomi kreatif dan digital bisa menjadi alternatif penyerapan tenaga kerja sarjana.
Kesimpulan
Fenomena lulusan sarjana yang memilih jadi ojol merupakan cerminan dari sistem yang gagal memfasilitasi transisi dari pendidikan ke dunia kerja. Ketika gelar tidak lagi menjamin pekerjaan, ketika upah formal kalah saing dengan penghasilan sektor informal, dan ketika tekanan hidup datang dari segala arah, pilihan menjadi ojol bukan lagi keputusan yang salah, tapi justru keputusan yang masuk akal dalam situasi yang sulit.
Permasalahan ini bukan tentang individu yang turun kasta, tetapi bukti bahwa sistem pendidikan dan pasar kerja Indonesia sedang bermasalah. Selama sistem masih seperti ini, selama yang dihargai hanya ijazah tapi bukan kualitas individual, ini akan terus melihat paradox yang terus berulang.
Pada akhirnya, gelar tinggi apapun tidak akan berguna jika negara dan sistem pemerintahan gagal memastikan bahwa kerja keras di bangku kuliah dibayar dengan kesempatan hidup yang layak. Saatnya kita berhenti menyalahkan individu dan mulai melihat ke akar permasalahan sistemik yang lebih dalam.
Bagikan artikel ini jika kamu merasa informasi ini bermanfaat dan mari diskusikan pengalamanmu di kolom komentar tentang sistem pendidikan dan Sistem tenaga kerja di Indonesia!
FAQ (Frequently Asked Questions)
1. Apakah semua sarjana yang jadi ojol karena tidak mampu bersaing di dunia kerja formal?
Tidak. Banyak sarjana memilih jadi ojol bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena keadaan, sistem kerja formal yang tidak memberikan kesempatan yang masuk akal dan layak secara ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Persyaratan berlebihan, gaji rendah, dan proses rekrutmen yang diskriminatif membuat mereka memilih jalur yang lebih realistis.
2. Berapa penghasilan rata-rata ojol dibandingkan dengan pekerja kantoran?
Driver ojol yang rajin bisa meraup Rp150.000-250.000 per hari atau sekitar Rp4-6,5 juta per bulan. Ini lebih tinggi dari gaji pegawai administrasi yang berkisar Rp3-4 juta per bulan dengan jam kerja tetap dan tekanan kerja yang tinggi.
3. Apa dampak jangka panjang dari fenomena ini terhadap ekonomi Indonesia?
Fenomena ini menunjukkan pemborosan investasi pendidikan dan potensi SDM dan menunjukkan gagalnya pemerintah dari segi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Jangka panjang, hal ini bisa menghambat produktivitas ekonomi karena ketidaksesuaian antara keahlian dan pekerjaan. Diperlukan reformasi sistem pendidikan dan ketenagakerjaan untuk mengoptimalkan potensi SDM Indonesia.
Bagaimana cara mengatasi inflasi gelar sarjana?
Solusinya yaitu: (1) Reformasi kurikulum yang lebih fokus pada praktik dan skill yang dibutuhkan industri, (2) Penguatan kerjasama perguruan tinggi dengan industri, (3) Pengembangan program vokasi dan pelatihan yang relevan, (4) Regulasi yang mendorong perusahaan memberikan kesempatan pada lulusan baru.
Apakah menjadi ojol merupakan solusi jangka panjang bagi sarjana?
Menjadi ojol lebih tepat disebut sebagai strategi adaptasi jangka pendek. Meskipun memberikan penghasilan yang layak, profesi ini tidak memberikan jaminan jangka panjang, jenjang karir, atau pengembangan skill professional. Idealnya, sarjana perlu mencari peluang yang lebih sesuai dengan kompetensi pendidikan mereka sambil tetap bekerja sebagai ojol.