Kebebasan Manusia Menurut Filsuf: Antara Pilihan dan Konsekuensi Moral
Dalam sejarah peradaban, kebebasan selalu diperjuangkan sebagai nilai tertinggi kemanusiaan. Namun, pernahkah kita mempertanyakan apakah kebebasan yang kita agung-agungkan justru menjadi akar dari berbagai malapetaka yang menimpa umat manusia? Berita-berita tentang kejahatan kemanusiaan—mulai dari pembunuhan, korupsi, peperangan, hingga genosida—seakan tak pernah berhenti menghiasi media. Dalam lensa filosofis, kebebasan manusia ternyata memiliki wajah ganda: ia adalah anugerah sekaligus kutukan yang membawa konsekuensi berat bagi kemanusiaan kita.
Kebebasan Manusia: Definisi dan Paradoks
Kebebasan manusia secara filosofis diartikan sebagai kemampuan individu untuk menentukan pilihan dan tindakannya sendiri. Berbeda dengan makhluk lain yang terikat pada naluri dan determinisme alam, manusia memiliki otonomi untuk melakukan sesuatu di luar batasan kodratnya. Justru dari sinilah paradoks muncul.
Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, dalam karyanya "Being and Nothingness" menyatakan bahwa kebebasan bukanlah hadiah melainkan kutukan bagi manusia. Melalui kebebasannya, manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas pilihan yang dibuatnya. Kebebasan memaksa manusia untuk menghadapi kesendiriannya dalam memilih dan menanggung konsekuensi dari setiap keputusan.
Dimensi Paradoksal Kebebasan Manusia
Paradoks kebebasan terletak pada dua sisi kontradiktif:
- Kebebasan sebagai pembebasan - Memberikan manusia kemampuan untuk mencipta, berkarya, dan membangun peradaban.
- Kebebasan sebagai beban - Membuat manusia mampu melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan.
Seperti diungkapkan Sartre, "hanya manusia yang bisa melakukan hal-hal di luar manusiawi." Binatang, setan, bahkan malaikat tidak bisa melakukan hal di luar kodratnya. Inilah yang membuat tindakan sekejam apapun tetap menjadi tindakan kemanusiaan—karena hanya manusia yang mampu melakukannya.
Akar Kejahatan dalam Diri Manusia
Teori Pilihan Rasional dan Motivasi Kejahatan
Dalam dunia kriminologi, dikenal teori "Rational Choice Theory" yang menjelaskan faktor-faktor yang memotivasi seseorang melakukan tindak kejahatan, khususnya pembunuhan. Beberapa faktor utamanya adalah:
- Faktor materiil dan kalkulasi untung-rugi - Tidak selalu berkaitan dengan uang, tetapi juga dengan kebebasan, kesenangan, dan kepuasan.
- Faktor emosional - Emosi yang tidak stabil, dendam, sakit hati, dan ketidakmampuan memaafkan menjadi pemicu tindakan kejahatan.
- Faktor kemampuan - Keyakinan bahwa diri mampu melakukan tindakan dan lolos dari jeratan hukum.
- Faktor kekuasaan - Posisi kuasa yang membuat seseorang merasa bisa menghilangkan jejak perbuatannya.
Berdasarkan data Polri, sejak 1 Januari hingga 17 Mei 2024 saja, sudah terjadi 140.335 kejahatan di Indonesia. Dan yang menarik, dalam kasus pembunuhan, pelaku dan korban justru sering kali saling mengenal.
Sifat Dasar Manusia: Pembunuh atau Pemelihara?
Dave Grossman dalam bukunya "On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society" menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primata. Mayoritas kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul sesuatu yang mengancam. Ketika konfrontasi terjadi, pihak yang dianggap musuh dianggap inferior dan harus dilenyapkan.
Penelitian David Buss, psikolog dan profesor di University of Texas di Austin, bahkan mengungkapkan fakta mengejutkan: sekitar 91% pria atau 84% wanita memiliki keinginan untuk membunuh makhluk hidup lain, baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Insting untuk mempertahankan hidup dengan cara bersaing bahkan sudah ada sejak dalam rahim. Hasil MRI pada janin kembar menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ruang maksimal dalam rahim, mereka tidak segan menendang dan mendorong saudaranya. Mungkin inilah awal mula sifat egois dan kejam pada manusia saat merasa terancam.
Perang: Ekspresi Tertinggi Kekerasan Manusia
Perang dalam Kacamata Filosofis
Immanuel Kant, filsuf besar Jerman, menyatakan bahwa tendensi perang telah tertanam dalam kodrat manusia. Kant bahkan menganggap perang perlu dianggap mulia karena mendorong manusia ke arah nilai luhur seperti perdamaian, menjaga martabat, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Jean-Paul Sartre menganggap tindakan perang sebagai pilihan bebas manusia yang lahir dari otak manusia. Perang adalah suatu insting manusia, terutama dalam keadaan terancam.
Kekejaman dalam Perang
Dalam peperangan, manusia tidak jauh berbeda dengan binatang. Semua kecenderungan kontradiktifnya dilakukan secara bersamaan. Perang menggambarkan kemanusiaan dalam bentuk terburuknya, di mana semua kecerdikan, energi, dan kapasitas manusia ditunjukkan untuk saling membunuh.
Dalam perang, segala hal seolah menjadi dibolehkan—perampasan, pemerkosaan, penahanan, bahkan tidak sedikit kasus yang menunjukkan para tahanan perang dijadikan bahan uji coba ilmu pengetahuan. Unit 731 milik Jepang, Unit 51 milik Amerika, dan kamp konsentrasi Nazi adalah beberapa contoh tempat eksperimen ilegal yang menjadikan tahanan sebagai objek uji coba.
William Tecumseh Sherman pernah mengatakan, "Perang memang selalu mengerikan. Perang adalah kekejaman dan tidak ada yang dapat menyempurnakannya."
Sadisme: Sisi Gelap Kemanusiaan
Asal-usul Sadisme dalam Diri Manusia
Beberapa teori menyatakan bahwa sadisme adalah adaptasi yang membantu manusia menyembelih hewan saat berburu. Ada juga yang berpendapat bahwa sadisme membantu orang mendapatkan kekuasaan.
Ilmu saraf menjelaskan bahwa sadisme bisa menjadi taktik dalam bertahan hidup yang dipicu oleh masa-masa sulit. Ketika makanan tertentu menjadi langka, tingkat neurotransmitter serotonin menurun. Penurunan ini membuat manusia lebih rela menyakiti orang lain karena ada perasaan menyenangkan yang muncul saat melakukannya.
Hakikat Manusia dalam Perdebatan Filosofis
Thomas Hobbes: Manusia adalah Serigala bagi Sesamanya
Thomas Hobbes adalah orang pertama dalam sejarah yang menyatakan bahwa pada kodratnya setiap manusia adalah sederajat. Melalui idenya, Hobbes menggambarkan bahwa manusia sepenuhnya bebas, termasuk untuk saling merugikan dan mencari keuntungan.
Konsekuensi dari ide Hobbes adalah kondisi "lawless stage" atau kondisi tanpa hukum yang menyebabkan "bellum omnium contra omnes" (perang semua atas semua). Untuk bertahan hidup, manusia dapat mengalahkan sesamanya—homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Jean-Jacques Rousseau: Kontrak Sosial dan Kebebasan
Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya "Kontrak Sosial" menyatakan bahwa pada mulanya semua manusia bebas, tapi terdapat proses di mana akhirnya masing-masing terbelenggu. Sebagian manusia yang berkuasa tidak menyadari ketergantungan mereka pada para budaknya, sementara bagi mereka yang ditindas, kemerdekaan hanya hadir saat mereka terlahir.
Rousseau menyarankan masyarakat untuk membangun asosiasi di mana ada kepemilikan bersama dan organ politik yang mencakup hukum serta kehendak bersama. Kontrak sosial menjadi hukum bagi seluruh kepentingan di dalam masyarakat.
Jean-Paul Sartre: Kebebasan sebagai Kutukan
Menurut Sartre, hakikat manusia tidak bisa dijelaskan seperti hakikat benda-benda. Manusia bebas menentukan dirinya, namun kebebasan itu adalah kutukan bagi manusia. Melalui kebebasannya, manusia dituntut untuk bertanggung jawab dan dihadapkan pada pilihan yang membuatnya merasa sendirian.
Hanya manusia yang bisa melakukan hal-hal di luar kemanusiawian. Apapun ketidakmanusiaan yang dilakukan, sebiadab apapun, itu tetaplah tindakan manusia, sebab hanya manusia yang bisa melakukannya.
Psikologi Kejahatan Manusia
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Sigmund Freud dalam perspektif psikoanalisisnya menjelaskan mengapa manusia melakukan tindak kejahatan. Bagi Freud, ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego, dan Superego membuat manusia lemah dan lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan.
Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari Superego yang berlebihan. Orang dengan Superego yang berlebihan akan merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum. Cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan.
Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip kesenangan. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan, termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Jika ini tidak bisa diperoleh secara legal, manusia akan mencoba melakukannya secara ilegal.
Psikopat dan Sosiopat dalam Masyarakat Modern
Psikopat dapat berkembang di dunia yang tidak stabil dan kompetitif. Dalam kehidupan di kota-kota besar, banyak orang memilih untuk hidup masing-masing, mementingkan diri sendiri, dan disibukkan dengan pekerjaan yang fokus pada kenyamanan pribadi dan keluarga.
Dalam prosesnya, manusia terkadang menjadi sadis dan mengorbankan orang lain. Dalam dunia kapitalistik, semua orang didorong menjadi manipulator ulung dan impulsif dalam meraih keuntungan jangka pendek.
Pertanyaannya: bagaimana jika bukan hanya individu yang menjadi psikopat, tetapi budaya dan peradaban kita yang sudah lebih dulu mengidap sosiopat?
Kebebasan dan Tanggung Jawab: Jalan Keluar dari Kutukan
Kesadaran akan Kebebasan sebagai Tanggung Jawab
Meskipun kebebasan manusia berpotensi menjadi kutukan dan malapetaka, kesadaran akan tanggung jawab dapat menjadi jalan keluar. Seperti dikatakan Sartre, "Kita dikutuk untuk bebas, tetapi dengan kebebasan itu kita menciptakan esensi kita."
Manusia perlu memahami bahwa kebebasan bukan semata-mata untuk memuaskan kepentingan pribadi, tetapi juga untuk bertanggung jawab terhadap dampak dari pilihan-pilihan yang dibuat. Kebebasan sejati hadir ketika manusia tidak hanya bebas memilih, tetapi juga bertanggung jawab atas pilihannya.
Peran Pendidikan dan Etika dalam Membentuk Kemanusiaan
Pendidikan dan etika memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran akan tanggung jawab terhadap kebebasan. Pendidikan tidak sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang mengarahkan kebebasan pada hal-hal yang konstruktif.
Etika menjadi panduan dalam menggunakan kebebasan secara bijaksana. Tanpa etika, kebebasan mudah terjerumus pada tindakan-tindakan yang merusak diri sendiri dan orang lain.
Kesimpulan
Kebebasan manusia memang memiliki dimensi paradoksal. Di satu sisi, kebebasan adalah anugerah yang memungkinkan manusia mencipta, membangun peradaban, dan mencapai potensi tertingginya. Di sisi lain, kebebasan juga bisa menjadi kutukan dan malapetaka ketika disalahgunakan untuk memuaskan kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain dan lingkungan.
Penjelasan filosofis dan psikologis tentang kejahatan manusia menunjukkan bahwa perilaku destruktif bukanlah semata-mata karena manusia "jahat" secara kodrati, melainkan karena kebebasan yang dimilikinya. Kebebasan inilah yang memungkinkan manusia melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan.
Untuk keluar dari kutukan kebebasan, manusia perlu mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab, menginternalisasi nilai-nilai etika, dan membangun sistem sosial yang mendorong kebebasan yang bertanggung jawab. Dengan begitu, kebebasan bisa menjadi berkat, bukan kutukan bagi kemanusiaan.
Bagaimana pendapat Anda tentang kebebasan manusia? Apakah Anda setuju bahwa kebebasan juga bisa menjadi kutukan? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah ini.
Jika Anda menikmati artikel filosofis ini, jangan lupa untuk membagikannya ke media sosial agar semakin banyak orang yang bisa merefleksikan makna kebebasan dalam hidup mereka. Anda juga bisa membaca artikel terkait lainnya di blog kami.
Ingin mendapatkan update artikel filosofis dan pemikiran kritis lainnya? Daftarkan email Anda di newsletter Ardiverse dan dapatkan artikel terbaru langsung di kotak masuk Anda.
FAQ (Frequently Asked Questions)
Apakah semua manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan?
Berdasarkan penelitian David Buss, sekitar 91% pria dan 84% wanita memiliki keinginan untuk membunuh makhluk hidup lain. Namun, keinginan ini tidak selalu termanifestasi dalam tindakan nyata. Faktor pengendalian diri, nilai moral, hukum, dan konsekuensi sosial menjadi penghalang untuk mewujudkan keinginan tersebut. Manusia memiliki potensi untuk kebaikan dan kejahatan, tetapi pilihan untuk mengaktualisasikan potensi mana yang lebih dominan bergantung pada individu dan lingkungannya.
Mengapa filsuf seperti Sartre menganggap kebebasan sebagai kutukan bagi manusia?
Sartre menganggap kebebasan sebagai kutukan karena kebebasan membawa beban tanggung jawab yang berat. Dalam pandangan eksistensialisme, tidak ada nilai atau moral yang bersifat objektif dan universal. Setiap individu harus menciptakan nilai dan moralnya sendiri melalui pilihan-pilihannya. Kebebasan memaksa manusia untuk terus-menerus membuat pilihan dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut, tanpa ada jaminan bahwa pilihan itu benar. Kebebasan juga membuat manusia menghadapi kesendiriannya dalam memilih—tidak ada yang bisa memilih untuknya.
Bagaimana hubungan antara kebebasan manusia dengan kejahatan perang?
Perang adalah manifestasi ekstrem dari kebebasan manusia. Dalam perang, manusia menggunakan kebebasannya untuk mengorganisir kekerasan sistematis demi tujuan politik, ekonomi, atau ideologis. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa perang adalah pilihan bebas manusia yang lahir dari otak manusia. Kebebasan memungkinkan manusia untuk menciptakan justifikasi, strategi, dan teknologi untuk melakukan kekerasan massal. Tanpa kebebasan untuk memilih, perang tidak mungkin terjadi karena perang membutuhkan perencanaan, keputusan, dan tindakan sadar—semua ini adalah manifestasi dari kebebasan.
Apakah sistem hukum dan kontrak sosial cukup untuk mengendalikan sisi gelap kebebasan manusia?
Sistem hukum dan kontrak sosial, seperti yang diusulkan oleh Rousseau, memang bisa menjadi mekanisme untuk mengendalikan sisi gelap kebebasan manusia. Namun, sistem ini tidak selalu efektif karena beberapa alasan: 1) Hukum hanya mengatur tindakan, bukan niatan; 2) Penegakan hukum tidak selalu konsisten dan adil; 3) Kontrak sosial mengasumsikan bahwa semua pihak setuju dengan aturan main yang sama, padahal dalam realitasnya tidak selalu demikian. Untuk benar-benar mengendalikan sisi gelap kebebasan, diperlukan kombinasi antara sistem hukum yang kuat, pendidikan moral yang baik, dan kesadaran individu akan tanggung jawab terhadap kebebasannya.
Bagaimana kita bisa menggunakan kebebasan secara positif?
Kebebasan bisa digunakan secara positif dengan cara: 1) Mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap setiap pilihan yang dibuat; 2) Menginternalisasi nilai-nilai etika dan moral yang mengarahkan kebebasan pada hal-hal yang konstruktif; 3) Memahami bahwa kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan orang lain; 4) Menggunakan kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi tertinggi diri dan membantu orang lain melakukan hal yang sama; 5) Menciptakan makna hidup melalui pilihan-pilihan yang autentik dan bertanggung jawab. Dengan cara ini, kebebasan bisa menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, bukan kutukan yang membawa malapetaka.