Fenomena Media Abal-Abal di Instagram: Mengapa Literasi Media Kritis di Era Digital

Di era digital yang serba cepat ini, Instagram tidak hanya menjadi platform berbagi foto dan video, tetapi juga telah berevolusi menjadi salah satu sumber utama informasi dan berita bagi generasi muda, khususnya Gen Z. Namun, di balik kemudahan akses informasi tersebut, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: proliferasi media "homeless" atau media abal-abal yang tidak terdaftar di Dewan Pers Indonesia. Media-media ini menggunakan format visual yang menarik dengan headline provokatif untuk memancing engagement, tanpa memperhatikan akurasi dan etika jurnalistik.

Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena tersebut, menelusuri bagaimana format media abal-abal ini menjadi tren di Instagram Indonesia, mengapa mereka begitu populer di kalangan netizen, dan apa dampaknya terhadap literasi media dan wawasan masyarakat digital Indonesia.

Awal Mula Media Abal-Abal di Instagram Indonesia

Dari Media Segmented Menjadi Pionir Konten Viral

Salah satu pelopor format media abal-abal di Instagram Indonesia adalah Volcatif, yang mulai aktif sejak 2016. Awalnya, Volcatif membagikan informasi segmented atau anti-mainstream yang tidak diliput oleh media konvensional. Format awalnya sederhana: reupload foto berita tanpa headline dan penjelasan hanya di caption.

Pada tahun 2019, Volcatif mulai mengembangkan format yang kemudian menjadi ciri khasnya: latar belakang foto dengan bubble teks berisi headline provokatif, disertai logo media. Format ini berhasil meningkatkan engagement mereka secara signifikan.

"Format postingan ini terlihat simpel dan to the point sehingga banyak orang yang juga suka share ke insta story, apalagi netizen-netizen FOMO yang pengin kelihatan selalu up to date," demikian dijelaskan dalam sumber yang menganalisis tren ini.

Evolusi Format Media Sosial yang Memicu Tren

Seiring waktu, media ini menemukan formula yang tepat untuk meningkatkan engagement: headline singkat, provokatif, dengan visual minimal. Format "insta storyable" ini mendorong pengguna untuk membagikan konten tersebut ke Instagram Story mereka, sehingga memperluas jangkauan dan pengaruh media tersebut.

Keberhasilan strategi ini tidak lepas dari perilaku netizen Indonesia yang cenderung menyukai konten ringkas dan kontroversial. Dengan mengkapitalisasi karakteristik ini, media abal-abal berhasil menggaet jutaan followers dalam waktu singkat.

Problematika Media Abal-Abal: Dari Hoaks hingga Plagiasi

Tidak Terikat Dewan Pers: Bebas dari Aturan dan Sanksi

Salah satu masalah mendasar dari media-media ini adalah status mereka sebagai "homeless media" atau media independent yang tidak terdaftar dalam Dewan Pers. Akibatnya, mereka tidak terikat pada kode etik jurnalistik dan peraturan yang mengatur media massa konvensional.

"Mereka bebas membuat berita atau konten apapun sesuai keinginan mereka tanpa perlu mengecek kebenaran dari sumber berita yang mereka dapat dan juga memperhatikan kode etik jurnalistik," demikian dijelaskan dalam sumber.

Kebebasan ini memungkinkan mereka untuk:

  • Mengubah narasi berita sesuai keinginan
  • Membuat headline provokatif yang terkadang tidak sesuai dengan fakta
  • Menyebarkan informasi tanpa verifikasi mendalam

Kasus-Kasus Problematik yang Mencoreng Kredibilitas

Beberapa kasus yang mencerminkan problematika media abal-abal di Instagram antara lain:

  1. Penyebaran Hoaks: Kasus penyebaran informasi salah tentang berakhirnya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang kemudian diklarifikasi oleh pemerintah.
  2. Plagiasi Konten: Mengambil berita atau konten dari akun lain tanpa mencantumkan sumber, sehingga merugikan kreator asli.
  3. Manipulasi Data: Mengubah data atau keterangan dalam postingan untuk memancing kontroversi dan meningkatkan engagement.
  4. Headline Menyudutkan: Membuat judul berita yang menyudutkan pihak tertentu tanpa konteks yang memadai.

Dampak Media Abal-Abal Terhadap Literasi Digital

Menurunnya Kualitas Wawasan dan Diskusi Publik

Media abal-abal dengan format viral namun minim substansi berkontribusi pada rendahnya literasi media di kalangan masyarakat Indonesia. Konsumsi berita dari sumber-sumber seperti ini cenderung tidak menambah wawasan bermakna, melainkan hanya memenuhi feed sosial media dengan informasi receh dan kurang substantif.

"Dan kalau kalian heran kenapa literasi masyarakat Indo rendah, kenapa banyak orang ya salah satu penyebabnya konsumsi berita tiap harinya aja dari media-media kayak gini yang isi beritanya sangat-sangat receh, enggak penting, dan bisa gua bilang sampah. Nambah wawasan juga enggak," demikian kritik yang dilontarkan terhadap fenomena ini.

Budaya Berbagi Tanpa Verifikasi

Kemudahan untuk membagikan informasi di platform sosial media telah menciptakan budaya berbagi tanpa verifikasi. Ketika sebuah berita dikemas dengan headline menarik, banyak netizen yang langsung membagikannya tanpa mengecek kebenaran atau konteks yang lebih luas.

Fenomena ini semakin diperparah oleh karakteristik pengguna sosial media yang cenderung memiliki attention span pendek dan lebih tertarik pada headline daripada isi berita lengkap.

Munculnya Akun Kritik dan Gerakan Literasi Media

Ferditum: Garda Depan Kritik Media Abal-Abal

Merespons fenomena media abal-abal, muncul akun seperti Ferditum yang secara aktif mengkritisi dan mengekspos praktik-praktik bermasalah media seperti Volcatif. Ferditum membuat postingan yang membongkar bukti hoaks dan kesalahan yang disebarkan oleh akun-akun media abal-abal, kemudian menjelaskan fakta dan kebenarannya.

Kritik yang dilontarkan Ferditum memaksa beberapa media seperti Volcatif untuk berbenah dan menambahkan slide penjelasan lebih detail, meskipun format headline provokatif mereka tetap dipertahankan.

Respons Media yang Dikritik

Menariknya, respons media yang dikritik menunjukkan pola yang konsisten. Mereka cenderung:

  1. Merespons kritik hanya setelah isu tersebut viral
  2. Memberikan klarifikasi di kolom komentar alih-alih membuat postingan khusus di akun mereka
  3. Melakukan perubahan minimal tanpa mengganggu formula konten yang menghasilkan engagement tinggi

Salah satu contoh perubahan adalah penambahan slide penjelasan yang diberi label "#facts" oleh Volcatif, meskipun efektivitasnya dipertanyakan karena mayoritas pembaca hanya melihat headline di slide pertama.

Media Alternatif yang Lebih Kredibel di Instagram

Media Mainstream Terdaftar di Dewan Pers

Untuk mendapatkan informasi yang lebih kredibel dan berkualitas di Instagram, banyak alternatif yang bisa diikuti:

  1. Tempo: Media berita terkemuka yang menyajikan berita politik, sosial, dan ekonomi dengan mendalam.
  2. BBC Indonesia: Cabang dari media internasional yang dikenal dengan standar jurnalistik tinggi.
  3. Narasi Newsroom: Media yang didirikan oleh Najwa Shihab dengan fokus pada jurnalisme investigatif.

Menurut sumber, media-media ini "udah terdaftar di dewan pers. Jadi mereka semua profesional di dalamnya bukan orang-orang sembarangan."

Media Niche dengan Konten Berkualitas

Selain media berita mainstream, terdapat juga media niche yang menyajikan konten berkualitas di bidang spesifik:

  1. Finfolk Money dan Ngomongin Uang: Media seputar finansial yang juga sering memberitakan kejadian penting dari seluruh dunia.
  2. Big Alpha: Media dengan konten bisnis dan finansial yang juga membahas isu sosial, politik, dan hal unik yang menambah wawasan.

Media-media ini tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga memberikan edukasi dan wawasan yang bermanfaat bagi pembaca.

Menjadi Konsumen Media yang Kritis di Era Digital

Mengenali Ciri Media Abal-Abal

Untuk menjadi konsumen media yang kritis, penting untuk mengenali ciri-ciri media abal-abal:

  1. Format konten yang terlalu menyederhanakan isu kompleks
  2. Headline provokatif yang tidak didukung fakta
  3. Tidak mencantumkan sumber berita
  4. Tidak terdaftar di Dewan Pers
  5. Konten yang lebih mengedepankan engagement daripada akurasi

Tips Meningkatkan Literasi Media Digital

Berikut beberapa tips untuk meningkatkan literasi media digital:

  1. Diversifikasi Sumber Berita: Jangan hanya mengandalkan satu platform atau satu akun media. Bandingkan informasi dari berbagai sumber.
  2. Cek Kredibilitas Media: Pastikan media yang diikuti terdaftar di Dewan Pers atau memiliki reputasi yang baik dalam hal akurasi dan etika jurnalistik.
  3. Baca Lebih Dari Sekadar Headline: Jangan terburu-buru membagikan berita hanya berdasarkan headline. Baca konten lengkapnya terlebih dahulu.
  4. Verifikasi Informasi: Jika menemukan berita yang mencurigakan atau terlalu sensasional, lakukan verifikasi melalui sumber-sumber terpercaya.
  5. Ikuti Media International: Perluas wawasan dengan mengikuti media internasional untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang isu global.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Media Digital yang Lebih Sehat

Fenomena media abal-abal di Instagram Indonesia menunjukkan pentingnya literasi media di era digital. Format konten yang mengutamakan engagement daripada akurasi dan kedalaman informasi berkontribusi pada rendahnya kualitas diskusi publik dan wawasan masyarakat.

Namun, munculnya akun-akun kritik seperti Ferditum dan ketersediaan media alternatif yang lebih kredibel memberikan harapan bagi terbentuknya ekosistem media digital yang lebih sehat. Sebagai konsumen media, kita memiliki tanggung jawab untuk lebih kritis dalam memilih sumber informasi dan tidak sekadar menjadi penyebar informasi yang belum terverifikasi.

Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi media digital, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang lebih cerdas dalam bermedia sosial dan mengonsumsi informasi di era yang semakin terhubung secara digital.

Bagaimana pengalaman Anda dengan media di Instagram? Apakah Anda pernah tanpa sadar membagikan informasi dari media abal-abal? Bagikan pengalaman dan pendapat Anda di kolom komentar.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikannya ke media sosial agar teman dan keluarga Anda juga mendapatkan wawasan tentang pentingnya literasi media digital. Baca juga artikel terkait lainnya di blog kami.

Ingin mendapatkan update artikel terbaru seputar teknologi, media, dan literasi digital? Daftar newsletter Ardiverse sekarang juga!

FAQ (Frequently Asked Questions)

Apa yang dimaksud dengan "homeless media" atau media abal-abal?

"Homeless media" adalah istilah yang merujuk pada media, khususnya di platform sosial media, yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Media jenis ini tidak terikat oleh peraturan dan kode etik jurnalistik, sehingga bebas membuat konten tanpa perlu memverifikasi kebenaran informasi atau memperhatikan standar etika pemberitaan.

Bagaimana cara mengenali berita hoaks di media sosial?

Berita hoaks biasanya memiliki ciri-ciri seperti headline yang terlalu sensasional, tidak mencantumkan sumber yang jelas, menggunakan bahasa emotif untuk memancing reaksi, serta tidak konsisten jika dibandingkan dengan pemberitaan media-media kredibel lainnya. Selalu verifikasi berita dengan mengecek sumber asli atau membandingkan dengan pemberitaan dari media mainstream yang terpercaya.

Mengapa format konten media abal-abal seperti Volcatif bisa sangat populer?

Format konten media seperti Volcatif menjadi populer karena beberapa faktor: desain visual yang simpel dan mudah dikonsumsi, headline provokatif yang memancing klik, format yang mudah dibagikan ke Instagram Story, serta memenuhi kebutuhan netizen akan informasi cepat tanpa perlu membaca panjang lebar. Format ini memanfaatkan karakteristik pengguna sosial media yang memiliki attention span pendek dan kecenderungan FOMO (Fear of Missing Out).

Apa dampak dari konsumsi berita dari media abal-abal terhadap masyarakat?

Konsumsi berita dari media abal-abal berdampak pada rendahnya literasi media, penyebaran informasi yang tidak akurat, pembentukan opini publik berdasarkan informasi parsial atau salah, serta menurunnya kualitas diskusi publik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berkontribusi pada polarisasi masyarakat dan erosi kepercayaan terhadap institusi media secara keseluruhan.

Media apa saja yang direkomendasikan untuk diikuti di Instagram sebagai alternatif media abal-abal?

Beberapa alternatif yang direkomendasikan antara lain: media mainstream yang terdaftar di Dewan Pers seperti Tempo, BBC Indonesia, dan Narasi Newsroom; media niche berkualitas seperti Finfolk Money, Ngomongin Uang, dan Big Alpha; serta media internasional untuk memperluas perspektif. Media-media ini menyajikan informasi yang lebih terverifikasi, mendalam, dan mematuhi standar jurnalistik.