MSG: Menyingkap Mitos dan Fakta di Balik Bumbu Umami yang Kontroversial
Monosodium Glutamat atau yang lebih dikenal dengan singkatan MSG memiliki perjalanan yang kontroversial dalam dunia kuliner. Awalnya dipandang sebagai penemuan revolusioner yang menyempurnakan rasa gurih dalam masakan, namun belakangan justru mendapatkan stigma negatif dan cenderung dihindari oleh sebagian masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi di balik kontroversi MSG ini?
Pernahkah Anda mendengar bahwa MSG berbahaya bagi kesehatan? Mungkin Anda juga pernah melihat label "No MSG Added" pada produk makanan dan menganggapnya sebagai indikator makanan sehat? Artikel ini akan membahas fakta-fakta ilmiah mengenai MSG, sejarah penemuannya, dan bagaimana bumbu ini mendapatkan stigma negatif yang tidak sepenuhnya berdasarkan bukti ilmiah yang kuat.
Asal Usul MSG: Dari Dapur Jepang ke Dunia
Profesor Kikunae Ikeda dan Penemuan Rasa Umami
Kisah MSG dimulai pada awal abad ke-20 oleh seorang profesor kimia bernama Kikunae Ikeda dari Universitas Kekaisaran Tokyo, Jepang. Suatu hari, Profesor Ikeda terkejut dengan rasa sup yang dibuatkan oleh istrinya. Rasa sup tersebut terasa lebih nikmat dari biasanya. Ketika bertanya kepada istrinya, jawaban yang ia dapat adalah sederhana: "Aku cuma menambahkan kombu (sejenis rumput laut)."
Terinspirasi oleh hal ini, Profesor Ikeda mulai meneliti struktur kimia dari kombu untuk mencari tahu apa yang membuat sup tersebut memiliki rasa yang begitu lezat. Melalui serangkaian penelitian, ia berhasil mengidentifikasi bahwa rasa gurih tersebut berasal dari asam L-glutamat, sejenis asam amino non-esensial.
Profesor Ikeda kemudian mempelajari berbagai garam glutamat untuk menentukan mana yang dapat menghasilkan rasa umami terbaik. Setelah menguji berbagai kombinasi, ia menemukan bahwa natrium (sodium) menghasilkan kombinasi yang paling mudah larut, terasa lebih enak, dan paling mudah dikristalkan. Kombinasi inilah yang kemudian dikenal sebagai monosodium glutamat atau MSG.
Kelahiran Ajinomoto dan Komersialisasi MSG
Pada tahun 1908, Profesor Ikeda mematenkan penemuannya. Namun, ia membutuhkan bantuan untuk memproduksi MSG secara komersial. Seorang pebisnis bernama Saburosuke Suzuki tertarik dengan penemuan ini dan membeli hak paten dari Profesor Ikeda. Pada tahun 1909, produksi komersial MSG dimulai dengan merek dagang Ajinomoto, yang berarti "intisari rasa" dalam bahasa Jepang.
Awalnya, Ajinomoto mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya. Banyak perusahaan yang enggan membeli MSG karena dianggap terlalu modern dan menyimpang dari nilai-nilai tradisional dalam memasak. Namun, Ajinomoto tidak menyerah. Mereka mengubah strategi pemasaran dengan menyasar segmen pasar yang lebih spesifik: ibu rumah tangga.
Untuk menarik minat ibu rumah tangga, Ajinomoto mengemas MSG dalam botol kaca yang cantik. Strategi ini berhasil menarik perhatian ibu rumah tangga dari kalangan menengah ke atas yang lebih terbuka terhadap inovasi dan modernitas. Keberhasilan ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Jepang yang ingin memodernisasi negara melalui sains dan teknologi.
Penyebaran MSG ke Asia dan Amerika
Ketika Jepang menjajah sebagian besar Asia Timur pada awal tahun 1900-an, MSG menjadi salah satu produk yang beredar luas. Di Cina, meskipun berada di bawah penjajahan Jepang, banyak masyarakat yang menyukai MSG karena kemampuannya membuat makanan terasa lebih gurih. Bahkan para vegetarian penganut Buddhisme di Cina sangat mengapresiasi MSG karena memberikan cara untuk meningkatkan cita rasa makanan vegetarian mereka.
Pada awal abad ke-20, Ajinomoto telah merambah ke Cina dan Taiwan. Namun, karena harganya yang relatif mahal, banyak orang Taiwan membeli MSG dalam jumlah kecil. Melihat peluang ini, seorang ahli kimia Cina bernama Wu Yunchu berhasil merekayasa ulang formula MSG dan menciptakan produk yang dikenal dengan nama "Tian Chu Vetsin". Wu Yunchu kemudian menjadi pionir industri MSG di Cina dan diakui sebagai pahlawan nasional.
Perlu diketahui bahwa istilah "micin" dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari kata "vetsin" yang merupakan nama merek MSG di Cina. Persaingan antara Ajinomoto dari Jepang dan Vetsin dari Cina saat itu bersifat politis, terutama karena adanya sentimen anti-Jepang di Cina. Hal ini kemudian menjadikan MSG sebagai bagian dari isu nasionalisme.
MSG sampai ke Amerika Serikat melalui restoran-restoran Cina setelah Perang Dunia II. Setelah serangan di Pearl Harbor, kebencian terhadap Jepang meningkat di Amerika Serikat, sementara simpati terhadap Cina yang sebelumnya menderita di bawah penjajahan Jepang juga meningkat. Hal ini menyebabkan banyak orang Amerika mulai mengeksplorasi budaya Cina, termasuk makanannya.
Pada akhir tahun 1940-an, makanan Cina yang kaya akan MSG mulai populer di Amerika Serikat. Produsen makanan Amerika pun mulai menambahkan MSG ke berbagai produk mereka, termasuk sup kalengan dan ransum militer. Pada tahun 1950-an, MSG dapat ditemukan di hampir semua makanan kemasan di Amerika Serikat, mulai dari makanan ringan hingga makanan bayi.
Awal Mula Kontroversi MSG
Surat ke New England Journal of Medicine
Stigma negatif terhadap MSG mulai muncul pada tahun 1960-an ketika masyarakat Amerika semakin waspada terhadap bahan kimia dalam makanan, termasuk pestisida, pewarna, dan pemanis buatan. Dalam suasana ketidakpercayaan ini, MSG menjadi sasaran kritik.
Kepanikan terhadap MSG bermula pada April 1968 ketika seorang dokter bernama Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine (NEJM). Dalam suratnya, Kwok menguraikan gejala-gejala yang ia alami setelah makan di restoran Cina, seperti jantung berdebar, lemas, dan mati rasa pada jari-jarinya. Ia menyebutkan tiga kemungkinan penyebab: garam berlebih, anggur yang digunakan untuk memasak, atau MSG.
Surat Kwok memicu respons dari banyak dokter lain yang juga melaporkan gejala serupa setelah makan di restoran Cina. Fenomena ini kemudian diberi nama "Chinese Restaurant Syndrome" atau Sindrom Restoran Cina. Namun, yang menarik adalah tidak ada dua orang yang melaporkan gejala yang persis sama, dan gejala tersebut muncul pada waktu yang sangat berbeda setelah makan.
Lebih aneh lagi, sindrom ini hanya dilaporkan terjadi di lokasi geografis tertentu, yaitu di New York dan California Selatan. Para dokter juga tidak dapat mencapai kesepakatan tentang bahan pemicu sebenarnya. Beberapa menyalahkan saus bebek, sayuran beku, cabai, bahkan sumpit.
Studi Herbert Schaumburg dan Kontroversinya
Pada Juli 1968, seorang ahli saraf bernama Herbert Schaumburg mulai melakukan serangkaian studi tentang MSG. Awalnya, Schaumburg menyarankan orang untuk tidak memandang buruk MSG karena ia sendiri menggunakan MSG dalam masakannya di rumah. Namun, tak lama kemudian ia menulis artikel yang berbeda, didukung oleh beberapa eksperimen yang ia lakukan.
Dalam eksperimennya, Schaumburg mengunjungi restoran Cina dan secara sistematis memakan semua yang ada di menu untuk mencari gejala sindrom tersebut. Ia juga memberikan MSG kepada tiga sukarelawan yang ditutup matanya, dan semuanya dilaporkan bereaksi buruk. Namun, salah satu dari tiga sukarelawan tersebut adalah Schaumburg sendiri.
Kritik terhadap studi Schaumburg antara lain meliputi ukuran sampel yang kecil, metodologi yang tidak ketat, dan potensi bias karena sukarelawan sudah mengetahui bahwa mereka mungkin mengonsumsi zat yang berpotensi berbahaya, yang dapat menyebabkan kecemasan dan manifestasi psikosomatis.
Studi Dr. John Olney dan Dampaknya
Kontroversi MSG semakin memanas ketika Dr. John Olney, seorang psikiater dari Universitas Washington di St. Louis, menerbitkan sebuah penelitian pada Mei 1969. Dalam penelitiannya, Dr. Olney menyuntikkan anak tikus dengan dosis tinggi MSG dan melaporkan adanya lesi otak setelah tikus tersebut diutanasia dan dibedah.
Dalam eksperimen lain, Dr. Olney menyuntikkan 20 tikus dengan konsentrasi MSG yang lebih tinggi dan mengamati mereka hingga dewasa. Ia melaporkan bahwa tikus-tikus tersebut mandul, terhambat pertumbuhannya, dan mengalami berbagai masalah lain. Berdasarkan temuan ini, Dr. Olney menyarankan ibu hamil untuk menghindari MSG karena berpotensi membahayakan janin.
Namun, banyak dokter mengkritik penelitian Dr. Olney karena beberapa alasan:
- Dosis MSG yang disuntikkan sangat berlebihan, setara dengan manusia dewasa yang mengonsumsi 450 gram MSG sekaligus (sekitar 60 sachet kecil Ajinomoto).
- MSG disuntikkan, bukan dikonsumsi melalui makanan yang akan dipecah oleh asam dan enzim di perut.
- Tikus bukanlah manusia, dan hasil penelitian pada tikus tidak dapat secara langsung diekstrapolasi ke manusia.
- Dr. Olney tidak melakukan double-blind study, sehingga berpotensi menimbulkan bias.
- Dr. Olney mengabaikan fakta bahwa plasenta pada ibu hamil serta penghalang darah-otak dapat menyaring MSG dengan baik.
Fakta Ilmiah tentang MSG
Apa Sebenarnya MSG Itu?
MSG atau monosodium glutamat adalah garam natrium dari asam glutamat. Asam glutamat adalah salah satu asam amino non-esensial yang secara alami ditemukan dalam berbagai makanan seperti tomat, keju, jamur, dan daging. Ketika MSG dimakan, natrium dan glutamat terpisah di dalam air liur, dan glutamat bebas mengaktifkan reseptor umami, menciptakan rasa gurih yang khas.
MSG berbentuk kristal putih, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa yang khas. Namun, ketika ditambahkan ke makanan, MSG dapat meningkatkan rasa umami atau rasa gurih makanan tersebut.
Penelitian Modern tentang MSG
Penelitian modern telah menunjukkan bahwa hampir tidak ada glutamat dari MSG yang tertelan yang berpindah dari usus ke darah, dan tidak ada MSG yang berpindah dari plasenta ibu ke janin atau melewati penghalang darah-otak. Hal ini mematahkan klaim bahwa MSG dapat merusak otak atau berbahaya bagi janin.
Sejak tahun 1960-an, banyak penelitian telah dilakukan terhadap MSG, dan sebagian besar membuktikan bahwa MSG tidak berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah normal. Faktanya, badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk FDA di Amerika Serikat, telah mengkategorikan MSG sebagai "generally recognized as safe" (GRAS) atau umumnya diakui aman.
MSG dan Kesehatan
Menurut artikel di Harvard Health Publishing, MSG sebenarnya dapat membantu mengurangi jumlah natrium yang dikonsumsi saat memasak di rumah. Meskipun mengandung natrium, MSG hanya mengandung 12,28 gram natrium per 100 gram, sekitar sepertiga dari natrium yang ditemukan dalam garam dapur.
Jika kita mengganti satu sendok teh garam dapur dengan jumlah MSG yang sama, kita akan mengurangi kandungan natrium dalam masakan sekitar 37% tanpa kehilangan banyak rasa. Ini berarti MSG dapat membantu meningkatkan persepsi rasa asin sekaligus mengurangi kandungan natrium dalam masakan, yang potensial bermanfaat bagi mereka yang perlu mengurangi asupan natrium.
Mengapa MSG Mendapat Stigma Negatif?
Faktor Rasisme dan Xenofobia
Salah satu faktor yang menyebabkan MSG mendapat stigma negatif adalah rasisme dan xenofobia. Menariknya, orang-orang di Amerika Serikat telah mengonsumsi MSG dalam sup kalengan dan makanan lain selama beberapa dekade tanpa masalah. Namun ketika MSG dikaitkan dengan masakan Cina, barulah muncul kepanikan.
Selain itu, gejala "sindrom restoran Cina" hampir selalu dikaitkan dengan makanan Cina, padahal banyak makanan Amerika juga mengandung MSG. Misalnya, pepperoni dan keju yang digunakan dalam pizza mengandung banyak natrium, tetapi tidak ada yang menyebutnya sebagai "sindrom restoran Italia".
Pengaruh Media dan Penyebaran Informasi yang Tidak Akurat
Media massa memiliki peran besar dalam menyebarkan ketakutan terhadap MSG. Berita-berita sensasional yang menghubungkan MSG dengan berbagai penyakit mendapatkan lebih banyak perhatian dibandingkan penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa MSG aman dikonsumsi dalam jumlah wajar.
Sayangnya, sekali stigma negatif melekat, sulit untuk menghilangkannya. Bahkan hingga saat ini, banyak orang yang masih percaya bahwa MSG berbahaya meskipun bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya.
Efek Nocebo dan Sugesti
Fenomena nocebo (kebalikan dari placebo) juga berkontribusi terhadap stigma negatif MSG. Ketika seseorang diberitahu bahwa MSG berbahaya dan dapat menyebabkan gejala tertentu, mereka cenderung mengalami gejala tersebut setelah mengonsumsi makanan yang mereka pikir mengandung MSG, meskipun sebenarnya tidak.
Hal ini terbukti dalam beberapa penelitian di mana orang-orang yang diberi makanan tanpa MSG tetapi diberitahu bahwa makanan tersebut mengandung MSG melaporkan gejala yang sama dengan "sindrom restoran Cina".
Penggunaan MSG dalam Kuliner Modern
MSG dalam Masakan Tradisional dan Fusion
Meskipun mendapat stigma negatif, MSG tetap digunakan secara luas dalam masakan tradisional di berbagai negara Asia. Di Jepang, MSG sering ditambahkan ke dalam dashi (kaldu dasar) untuk meningkatkan rasa umami. Di Cina, MSG digunakan dalam berbagai hidangan untuk menambah rasa gurih tanpa meningkatkan waktu memasak.
Dalam kuliner fusion modern, beberapa chef mulai menggunakan kembali MSG untuk menciptakan rasa umami yang kuat dalam hidangan mereka. Mereka mengakui bahwa MSG, ketika digunakan dengan bijak, dapat meningkatkan profil rasa hidangan tanpa menambahkan terlalu banyak natrium.
Alternatif Natural untuk MSG
Bagi yang masih enggan menggunakan MSG, ada beberapa alternatif alami yang dapat memberikan rasa umami, seperti:
- Rumput laut kombu (sumber asli penemuan Profesor Ikeda)
- Jamur shiitake kering
- Kaldu yang direbus lama
- Tomat matang
- Keju parmesan
- Saus ikan
- Miso
- Kecap
Namun, perlu diingat bahwa bahan-bahan ini juga mengandung glutamat alami, yang pada dasarnya sama dengan glutamat dalam MSG.
Kesimpulan: Menyikapi MSG dengan Bijak
MSG bukanlah racun seperti yang sering digambarkan dalam berbagai artikel dan media sosial. Ketakutan terhadap MSG sebagian besar didasarkan pada penelitian yang cacat, sensasi media, dan stigma rasial. Penelitian modern telah membuktikan bahwa MSG aman dikonsumsi dalam jumlah wajar sebagai bagian dari diet seimbang.
Jika Anda sudah nyaman menjalani hidup tanpa MSG, itu pilihan Anda. Namun, tidak perlu takut berlebihan terhadap MSG karena tidak ada dampak buruk yang mengerikan yang datang dari penggunaan MSG sehari-hari pada masakan. Bahkan, MSG dapat menjadi alternatif yang lebih sehat dibandingkan garam dapur karena kandungan natriumnya yang lebih rendah.
Pada akhirnya, seperti banyak hal dalam hidup, moderasi adalah kuncinya. Gunakan MSG secukupnya jika Anda memilih untuk menggunakannya, tetapi tidak perlu menghindarinya seperti racun. Yang terpenting adalah menikmati makanan yang Anda konsumsi dan menjaga keseimbangan dalam diet Anda secara keseluruhan.
Apa Pendapat Anda tentang MSG?
Apakah Anda masih menghindari MSG dalam makanan Anda? Atau Anda menggunakannya dalam masakan sehari-hari? Bagikan pengalaman dan pendapat Anda di kolom komentar di bawah ini. Kami ingin mendengar perspektif Anda tentang topik yang kontroversial ini!
Jika Anda menyukai artikel ini, jangan lupa untuk membagikannya ke media sosial dan teman-teman Anda yang mungkin tertarik dengan topik ini. Mari bersama-sama menyebarkan informasi yang akurat tentang MSG!
FAQ Seputar MSG
1. Apakah MSG benar-benar berbahaya bagi kesehatan?
Tidak, MSG tidak berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah normal. Badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk FDA di Amerika Serikat, telah mengkategorikan MSG sebagai "generally recognized as safe" (GRAS) atau umumnya diakui aman. Penelitian modern tidak menemukan bukti yang menghubungkan MSG dengan berbagai penyakit yang sering dikaitkan dengannya.
2. Apakah benar MSG dapat menyebabkan sakit kepala?
Meskipun beberapa orang melaporkan sakit kepala setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, penelitian double-blind tidak menemukan hubungan yang konsisten antara konsumsi MSG dan sakit kepala. Reaksi tersebut mungkin lebih disebabkan oleh efek nocebo (kebalikan dari placebo) di mana seseorang mengalami gejala karena mereka mengharapkannya.
3. Apakah MSG sama dengan glutamat yang ditemukan secara alami dalam makanan?
Ya, glutamat dalam MSG secara kimiawi identik dengan glutamat yang ditemukan secara alami dalam makanan seperti tomat, keju, dan daging. Perbedaannya adalah MSG adalah garam natrium dari glutamat yang telah diekstrak dan dikristalisasi, sementara glutamat alami terikat dengan protein dan zat lain dalam makanan.
4. Berapa banyak MSG yang aman dikonsumsi setiap hari?
FDA tidak menetapkan batas spesifik untuk konsumsi MSG harian karena dianggap aman. Namun, seperti halnya bahan makanan lain, konsumsi berlebihan tidak disarankan. Sebagai perbandingan, rata-rata orang Amerika mengonsumsi sekitar 500 mg MSG per hari, sementara orang-orang di negara Asia mengonsumsi sekitar 1700 mg per hari (lebih dari tiga kali lipat) tanpa masalah kesehatan yang signifikan.
5. Bisakah MSG membantu mengurangi konsumsi garam?
Ya, MSG dapat membantu mengurangi konsumsi garam karena meskipun mengandung natrium, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan garam dapur. MSG mengandung sekitar 12,28 gram natrium per 100 gram, sekitar sepertiga dari natrium yang ditemukan dalam garam dapur. Dengan mengganti sebagian garam dengan MSG, Anda dapat mengurangi asupan natrium sambil tetap menikmati rasa gurih dalam makanan Anda.
Artikel ini disusun berdasarkan penelitian ilmiah dan data yang akurat. Namun, informasi yang disajikan tidak dimaksudkan sebagai saran medis. Jika Anda memiliki kondisi kesehatan tertentu atau kekhawatiran terkait diet, konsultasikan dengan profesional kesehatan sebelum melakukan perubahan signifikan pada pola makan Anda.