Ekspedisi Cyclops: Penemuan Kembali Echidna Attenborough dan Rahasia Pegunungan Papua

Pada pertengahan 2023, sebuah ekspedisi ilmiah yang luar biasa telah mengubah lanskap penelitian biodiversitas di Indonesia. Tim gabungan yang terdiri dari peneliti internasional, aktivis lingkungan, dan mahasiswa lokal melakukan perjalanan epik selama sembilan minggu ke Pegunungan Cyclops di Papua, Indonesia. Ekspedisi yang dipimpin oleh James Campton dari Oxford University ini tidak hanya berhasil mendokumentasikan keanekaragaman hayati yang belum terjamah, tetapi juga menyaksikan penemuan kembali spesies ikonik yang dianggap telah punah: Echidna Attenborough.

Pegunungan Cyclops, dengan ketinggian sekitar 1.970 meter dari permukaan laut, merupakan salah satu wilayah dengan medan terjal yang paling tidak ramah di dunia. Namun, justru di sinilah tim ekspedisi menemukan harta karun biodiversitas yang mengejutkan komunitas ilmiah global.

Sejarah dan Signifikansi Pegunungan Cyclops

Asal Usul Nama yang Legendaris

Pegunungan Cyclops memiliki sejarah penjelajahan yang menarik. Pada tahun 1768, Baron Louis De Boganf melakukan ekspedisi untuk mengumpulkan spesimen serangga bagi British Museum. Dalam catatannya, ia menyebut wilayah ini sebagai "leju cylop" yang berarti "dua cyclops" - mengacu pada dua gunung utama di kawasan tersebut: Gunung Rara dan Gunung Daavonsoro (atau Dobonsolo dalam bahasa Sentani). Nama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penamaan Pegunungan Cyclops.

Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama

Pegunungan Cyclops bukan sekadar formasi geologi biasa. Kawasan ini diakui sebagai kawasan keanekaragaman hayati utama, yang berarti sangat penting bagi kelangsungan biodiversitas dan kesehatan bumi secara keseluruhan. Komunitas ilmiah dunia memberikan perhatian khusus pada kawasan ini karena potensi penemuan spesies yang belum terdokumentasi.

Nilai Budaya bagi Masyarakat Lokal

Bagi masyarakat Yongsu Sapari yang telah mendiami wilayah tersebut selama 18 generasi, Pegunungan Cyclops memiliki nilai sakral. Mereka percaya bahwa pegunungan ini dijaga oleh roh perempuan yang berwujud seperti kanguru pohon. Hubungan spiritual ini telah melahirkan kearifan lokal yang sangat berharga dalam menjaga keseimbangan ekosistem pegunungan.

Tim Ekspedisi: Kolaborasi Lintas Disiplin

Komposisi Tim Internasional

Ekspedisi yang diusulkan sejak 2019 ini mempertemukan ahli dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang. Tim internasional dipimpin oleh James Campton dari Oxford University dan dibantu oleh para ahli seperti Dr. Leonides Romanos Davranoglu, Madeline Food, Dr. Andrew Tilker, Dr. Atila Balaz, dan Dr. Max Web.

Kolaborasi dengan Peneliti Indonesia

Pihak Indonesia diwakili oleh tim dari Universitas Cendrawasih (UNCEN) yang dipimpin oleh Dr. Suryani Surbakti, Gibson Morip, dan Heronyando. Kolaborasi ini menjadi bukti pentingnya pertukaran pengetahuan antara peneliti internasional dan lokal dalam mengungkap rahasia biodiversitas Indonesia.

Peran LSM Lokal

Yayasan Pelayanan Papua Nenda (Yapenda) turut berkontribusi dalam kesuksesan ekspedisi. Pendiri Yapenda, IAIN Kobak, Malcolm Kobak, dan Yali Kobak, dibantu oleh Sampari Kobak, Ezra Daniel, Ruben Pengu, Melia Seluka, Yanis Yalak, dan Sili Alak, memberikan dukungan logistik dan pengetahuan lokal yang sangat berharga.

Tantangan Ekspedisi Cyclops

Medan yang Mengancam Jiwa

Perjalanan melalui Pegunungan Cyclops bukan tanpa risiko. Tim harus menghadapi medan basah yang terjal, suhu dingin, dan hutan lebat yang belum terjamah. Gempa bumi yang terjadi selama ekspedisi memaksa tim untuk mengungsi, dan beberapa anggota mengalami cedera serius, termasuk patah lengan.

Bahaya Biologis

Ancaman biologis juga mengintai di sepanjang ekspedisi. Malaria menjangkiti beberapa anggota tim, dan seorang peneliti bahkan mengalami insiden lintah yang masuk ke matanya selama 33 jam. Gigitan nyamuk, potensi serangan ular berbisa, dan laba-laba beracun menjadi tantangan harian yang harus dihadapi tim.

Kondisi Lingkungan Ekstrem

Meskipun beberapa penjelajah menggambarkan Pegunungan Cyclops sebagai "neraka hijau," James Campton memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, pengalaman menghadapi kondisi ekstrem justru memperkuat ikatan antar anggota tim. Mereka berbagi cerita di sekitar api ungkap diiringi suara burung hantu dan katak, menciptakan pengalaman ekspedisi yang tak terlupakan.

Penemuan Utama Ekspedisi Cyclops

Echidna Attenborough: Bangkit dari Ketiadaan

Penemuan paling signifikan dari ekspedisi ini adalah dokumentasi pertama Echidna Attenborough (Zaglossus attenboroughi) setelah 60 tahun menghilang dari catatan ilmiah. Mamalia bertelur yang terakhir kali teramati pada tahun 1961 ini berhasil terekam oleh kamera jejak pada hari terakhir ekspedisi.

Professor Christopher Helgen, ahli mamalia dan direktur Australian Museum Research Institute (AMRI), mengkonfirmasi bahwa spesies tersebut adalah Echidna berparuh panjang Attenborough yang dalam bahasa lokal disebut "payangko". Penemuan ini sangat signifikan karena Echidna Attenborough adalah salah satu dari hanya lima spesies monotremata (mamalia bertelur) yang masih ada di dunia.

Spesies dan Genus Baru

Ekspedisi juga menghasilkan penemuan banyak spesies baru, termasuk:

  • Dua spesies katak baru
  • Puluhan spesies serangga baru
  • Genus baru dari kerabat udang yang hidup di darat
  • Burung pemakan madu Mayr, yang hilang dari catatan ilmiah sejak 2008
  • Spesies bawah tanah seperti laba-laba buta, harvestmen buta, dan kalajengking cambuk

Penemuan Geologis

Tim ekspedisi mengumpulkan lebih dari 75 kg sampel bebatuan untuk analisis geologi yang dipimpin oleh kepala ahli geologi Dr. Max Web dari Royal Holloway University of London. Sampel ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana dan kapan Pegunungan Cyclops pertama kali terbentuk, yang diyakini terjadi sekitar 10 juta tahun lalu ketika busur pulau di Samudra Pasifik bertabrakan dengan daratan Papua.

Echidna: Mamalia Bertelur yang Unik

Karakteristik Biologi Echidna

Echidna Attenborough adalah monotremata, kelompok mamalia bertelur yang terpisah dari mamalia lainnya sekitar 200 juta tahun lalu. Ukurannya sedikit lebih kecil dari kucing rumahan dengan tubuh yang ditutupi duri tajam, moncong panjang seperti trenggiling, dan kaki pendek yang kuat.

Echidna tidak agresif, tetapi ketika terancam akan meringkuk seperti bola dan mengekspos durinya untuk melindungi diri, mirip seperti landak. Mamalia ini aktif pada malam hari dan menghabiskan waktu mencari makan di bawah tanah, dengan makanan utama berupa cacing, larva serangga, rayap, dan semut.

Sistem Reproduksi yang Menakjubkan

Sistem reproduksi Echidna sangat unik dan menakjubkan. Meskipun soliter, beberapa spesies akan melakukan ritual kawin kelompok setahun sekali, biasanya antara Juni dan September. Sekelompok pejantan akan berbaris dan mengikuti betina sampai dia siap kawin.

Fakta menarik lainnya, Echidna jantan memiliki penis berkepala empat dan menggunakan dua kepala sekaligus untuk menginseminasi saluran reproduksi betina yang bercabang dua. Sekitar 22 hari setelah kawin, betina akan meletakkan sebutir telur ke dalam kantong di perutnya. Telur ini menetas 10 hari kemudian menjadi bayi Echidna yang disebut "puggle".

Umur Panjang dan Adaptasi Metabolisme

Echidna memiliki metabolisme yang sangat lambat dan suhu tubuh yang rendah (sekitar 32°C), yang memungkinkannya berumur panjang. Di alam liar, Echidna dapat hidup mencapai usia 45 tahun, dan di penangkaran hingga 50 tahun – jauh lebih lama dibandingkan kebanyakan mamalia seukurannya.

Nilai Budaya Echidna bagi Masyarakat Lokal

Simbol Resolusi Konflik

Echidna memiliki makna budaya mendalam bagi masyarakat Yongsu Sapari. Menurut cerita lokal, ketika terjadi konflik di masyarakat, alih-alih berkelahi, mereka memiliki tradisi unik di mana salah satu pihak yang berkonflik akan naik ke Pegunungan Cyclops untuk mencari Echidna, sementara pihak lainnya akan pergi ke laut untuk mencari ikan marlin.

Kedua hewan ini sangat sulit ditemukan, bahkan bisa memerlukan waktu puluhan tahun. Namun ketika berhasil ditemukan, kedua binatang tersebut melambangkan berakhirnya konflik dan kembalinya harmoni di desa. Tradisi ini menunjukkan bagaimana fauna lokal menjadi bagian integral dari sistem nilai dan resolusi konflik masyarakat adat.

Penemuan Lain yang Menakjubkan

Udang Penghuni Pohon

Salah satu penemuan paling mengejutkan adalah genus baru dari amfipod atau "udang penghuni pohon". Dr. Leonides Romanos Davranoglu, ahli entomologi utama ekspedisi, menjelaskan bahwa penemuan udang ini di jantung hutan merupakan perubahan luar biasa dari habitat khas mereka yang biasanya ditemukan di sekitar pantai.

Tim berhipotesis bahwa tingginya curah hujan di Pegunungan Cyclops menciptakan kelembaban yang cukup tinggi, memungkinkan makhluk-makhluk ini beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di darat. Udang darat ini termasuk dalam famili Talitridae dan ordo Amphipoda, yang terkenal dengan kemampuan melompatnya.

Sistem Gua yang Belum Terjelajahi

Tim juga menemukan sistem gua yang belum pernah dijelajahi sebelumnya, secara kebetulan ketika salah satu anggota tim terjatuh di mulut gua yang tertutup lumut. Di dalam gua ini, mereka menemukan berbagai spesies bawah tanah yang baru bagi sains, termasuk laba-laba buta dan kalajengking cambuk.

Sistem gua ini berada di salah satu puncak suci bagi masyarakat Yongsu Sapari, dan tim telah diberikan izin khusus untuk melakukan penelitian di sana. Penemuan ini menunjukkan betapa banyak rahasia alam yang masih tersembunyi di Pegunungan Cyclops.

Implikasi Konservasi

Status Konservasi Echidna Attenborough

Echidna Attenborough diklasifikasikan sebagai "sangat terancam punah" dalam Daftar Merah IUCN. Spesies ini belum pernah tercatat di manapun di luar Pegunungan Cyclops, menjadikannya sangat rentan terhadap perubahan habitat.

Ketiga spesies Echidna berparuh panjang di Nuginia diambang kepunahan karena hilangnya habitat dan perburuan berlebihan. Penemuan kembali Echidna Attenborough memberikan harapan baru bagi upaya konservasi spesies ini dan habitatnya.

Peran LSM Lokal dalam Konservasi

Yayasan Pelayanan Papua Nenda (Yapenda) memiliki peran krusial dalam konservasi jangka panjang Pegunungan Cyclops. Sebagai bagian dari tim ekspedisi, anggota Yapenda telah melatih enam mahasiswa UNCEN dalam survei keanekaragaman hayati dan membantu memetakan lokasi kamera jejak.

Dr. Davranoglu menekankan pentingnya dukungan terhadap rekan-rekan di garis depan melalui pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan peralatan untuk melindungi hutan hujan tropis, yang merupakan salah satu ekosistem terestrial paling penting dan paling terancam di dunia.

Pendanaan dan Dukungan Ekspedisi

Ekspedisi Cyclops dapat terlaksana berkat dukungan dana dari berbagai institusi prestisius, termasuk Merton College Oxford, Royal Geography Society, Scientific Exploration Society, Rewild, Royal Holloway University, University of Oxford, Riconix, serta sumbangan pribadi dan pendonasi individu lainnya.

Dukungan ini menunjukkan besarnya perhatian komunitas ilmiah internasional terhadap pentingnya menjelajahi dan melindungi kawasan biodiversitas utama seperti Pegunungan Cyclops. Tanpa pendanaan yang memadai, ekspedisi dengan tingkat kesulitan dan risiko tinggi seperti ini tidak mungkin terlaksana.

Kesimpulan: Warisan Abadi Pegunungan Cyclops

Ekspedisi Cyclops telah membuka tabir rahasia yang tersembunyi di salah satu kawasan paling terpencil di Indonesia. Penemuan kembali Echidna Attenborough setelah 60 tahun menghilang dari catatan ilmiah merupakan bukti bahwa masih banyak spesies yang belum terdokumentasi atau dianggap punah yang mungkin masih bertahan di hutan belantara Indonesia.

Pegunungan Cyclops bukan sekadar formasi geologi atau habitat keanekaragaman hayati; ia adalah "Eternal Legacy" - warisan abadi pembentuk keanekaragaman hayati yang harus dijaga sepenuh hati. Kolaborasi antara peneliti internasional, institusi akademik lokal, LSM, dan masyarakat adat merupakan kunci untuk memastikan kelestarian warisan ini untuk generasi mendatang.

Penemuan-penemuan baru dari ekspedisi ini, baik dalam bidang biologi maupun geologi, akan terus memperkaya pemahaman kita tentang proses evolusi dan pembentukan keanekaragaman hayati di Nuginia. Ini adalah bukti nyata bahwa investasi dalam eksplorasi ilmiah dan konservasi memiliki nilai yang tak terhingga bagi ilmu pengetahuan dan kelangsungan hidup planet kita.

Ajakan untuk Terlibat

Tertarik dengan eksplorasi biodiversitas Indonesia? Mari ikut berkontribusi dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati:

  • Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya konservasi Pegunungan Cyclops.
  • Dukung LSM konservasi lokal seperti Yapenda yang bekerja langsung dengan masyarakat adat.
  • Pelajari lebih lanjut tentang spesies endemik Indonesia dan upaya perlindungannya.
  • Ikuti perkembangan penelitian biodiversitas Indonesia melalui newsletter Ardiverse.

FAQ: Ekspedisi Cyclops dan Echidna Attenborough

Apa itu Echidna Attenborough dan mengapa penemuannya begitu penting?

Echidna Attenborough (Zaglossus attenboroughi) adalah mamalia bertelur langka yang dinamai berdasarkan naturalis terkenal Sir David Attenborough. Penemuannya sangat penting karena spesies ini dianggap mungkin telah punah sejak terakhir kali didokumentasikan pada tahun 1961. Echidna ini adalah satu dari hanya lima spesies monotremata (mamalia bertelur) yang masih ada di dunia, menjadikannya sangat berharga dari perspektif evolusi.

Bagaimana tim ekspedisi berhasil menemukan Echidna Attenborough?

Tim ekspedisi memasang lebih dari 80 kamera jejak di berbagai lokasi di Pegunungan Cyclops. Secara mengejutkan, Echidna Attenborough terekam pada hari terakhir ekspedisi di memory card terakhir yang diperiksa. Ini menunjukkan bahwa kadang-kadang penemuan ilmiah yang signifikan datang pada saat-saat tak terduga.

Apa saja tantangan terbesar yang dihadapi tim ekspedisi Cyclops?

Tantangan terbesar meliputi medan terjal yang berbahaya, kondisi cuaca ekstrem, gempa bumi, risiko malaria, dan berbagai bahaya biologis seperti ular berbisa dan laba-laba beracun. Seorang peneliti bahkan mengalami lintah yang masuk ke matanya selama 33 jam. Namun, berkat kolaborasi dengan masyarakat lokal dan persiapan yang matang, tim berhasil mengatasi semua tantangan ini.

Mengapa Pegunungan Cyclops penting bagi keanekaragaman hayati global?

Pegunungan Cyclops dianggap sebagai kawasan keanekaragaman hayati utama yang sangat penting bagi kesehatan bumi secara keseluruhan. Isolasi geografis dan kondisi ekologis uniknya telah menciptakan "laboratorium evolusi" alami di mana banyak spesies endemik berkembang. Pegunungan ini juga memainkan peran penting dalam siklus air dan iklim lokal.

Bagaimana cara berkontribusi dalam upaya konservasi Pegunungan Cyclops?

Untuk berkontribusi, Anda dapat mendukung organisasi konservasi lokal seperti Yapenda yang bekerja langsung dengan masyarakat adat untuk melindungi Pegunungan Cyclops. Meningkatkan kesadaran melalui media sosial, mendukung penelitian biodiversitas, dan memilih praktik konsumsi yang berkelanjutan juga merupakan cara untuk membantu melestarikan kawasan keanekaragaman hayati kritis seperti Pegunungan Cyclops.


Artikel ini disusun berdasarkan ekspedisi ilmiah yang dilakukan di Pegunungan Cyclops, Papua, Indonesia pada tahun 2023. Sumber utama informasi berasal dari dokumentasi resmi ekspedisi dan wawancara dengan tim peneliti.