Mengapa Driver Ojek Online Masih Disebut Mitra, Bukan Karyawan? Ini Jawaban Hukumnya

Fenomena ekonomi gig (Gig Ekonomy) atau dalam bahasa Inggris disebut gig worker telah mengubah cara masyarakat di Indonesia mencari nafkah selama satu dekade terakhir. Sebelumynya perlu kita ketahui apa itu Ekonomi Gig? Ekonomi gig adalah sistem kerja yang identik dengan kerja jangka pendek, kontrak lepas, atau bisa disebut sebagai pekerja lepas (freelance).

Contoh pekerja di sektor ekonomi gig antara lain:

  • Pengemudi Gojek, Grab, Maxim, ShopeeFood
  • Penulis lepas (freelance writer)
  • Desainer grafis lepas
  • Konten kreator (influencer)
  • Programmer atau web developer lepas
  • dan lain-lain

Pada artikel ini kita akan membahas mengapa ojek online masih disebut sebagai mitra bukan disebut sebagai karyawan. Istilah "mitra" kini menjadi sangat familiar seiring menjamurnya aplikasi berbasis permintaan konsumen seperti layanan ojek online, kurir, dan taksi online. Namun di balik istilah yang terdengar setara diantara aplikator dan pekerja terlihat saling menguntungkan ini, tersimpan realitas kompleks mengenai status hukum, perlindungan pekerja, dan kesejahteraan para pekerja digital. Pertanyaan krusial yang perlu kita telaah bersama adalah: mengapa para pekerja ini terus dikategorikan sebagai mitra dan bukan karyawan tetap? dan  yang lebih penting apa dampaknya terhadap kehidupan mereka? Apakah mereka mendapatkan hak-hak seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, upah minimum, dan perlindungan kerja lainnya?

Memahami Konsep Mitra dalam Ekonomi Gig

Definisi dan Kerangka Hukum yang Ambigu

Para pengemudi ojek online dan kurir di Indonesia masuk dalam kategori pekerja informal didalam sistem ekonomi gig. Mereka tidak memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan aplikasi, melainkan hanya terikat dalam hubungan kemitraan. Permasalahannya, istilah "hubungan kemitraan" ini tidak tercakup dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Konsep hubungan kemitraan justru diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), namun konteksnya sangat berbeda dengan praktik kemitraan yang diterapkan dalam ekonomi gig saat ini. Kekosongan hukum ini menciptakan zona abu-abu yang memungkinkan terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja digital.

Realitas di Balik Status Mitra

Meskipun secara resmi disebut sebagai mitra, dalam praktiknya para pekerja aplikasi ini memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan pekerja dalam hubungan kerja konvensional:

  1. Ada hubungan subordinasi yang jelas dengan platform
  2. Mereka harus mengikuti aturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan aplikasi
  3. Kinerja mereka dipantau dan dievaluasi secara teratur
  4. Ada sistem reward dan punishment seperti insentif dan suspend

"Pada kenyataannya memang sebenarnya mereka tuh buruh. Mereka tuh buruh yang seharusnya berada dalam hubungan kerja karena mereka punya hubungan subordinasi yang jelas dengan platform," ujar seorang pakar ketenagakerjaan dalam penelitian yang dilakukan.

Namun, definisi hubungan kerja yang sangat sempit dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebabkan para pekerja platform ini tidak bisa dikategorikan sebagai pekerja dalam hubungan kerja formal, sehingga tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.

Dampak Sistem Kemitraan Terhadap Kesejahteraan Pekerja

1. Jam Kerja Berlebihan dan Pendapatan Minim

Ketiadaan payung hukum yang memadai menimbulkan konsekuensi serius terhadap kesejahteraan para mitra. Salah satu dampak paling signifikan adalah jam kerja yang berlebihan tanpa kompensasi yang sepadan.

Sejumlah studi menemukan mayoritas pekerja gig, khususnya pengemudi ojek online, bekerja rata-rata 9 sampai 12 jam per hari. Angka ini jauh melebihi batas maksimum 40 jam per minggu yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk pekerja formal. Dengan jam kerja yang panjang ini, seharusnya mereka mendapatkan pendapatan yang layak.

Namun realitasnya berbanding terbalik. Data pada 2022-2023 menunjukkan pendapatan kotor rata-rata pengemudi ojek online hanya sekitar Rp168.000 per hari. Jika dikalkulasikan per bulan, angka ini sangat rendah dan bahkan tidak mencapai Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) di banyak daerah di Indonesia.

2. Penurunan Kesejahteraan dari Waktu ke Waktu

Perlu diketahui bahwa kondisi pekerja gig economy tidak seburuk sekarang. Pada masa awal kemunculan layanan berbasis aplikasi di Indonesia, para mitra menikmati apa yang disebut "masa keemasan" atau "honeymoon period" ekonomi gig.

"Kesejahteraan mitra itu selama 10 tahun belakangan ini terus terus menurun. Kenapa dia terus menurun? Karena memang di masa-masa awal kesejahteraannya cukup baik," ungkap seorang peneliti ekonomi gig.

Namun seiring berjalannya waktu, kesejahteraan para mitra terus mengalami penurunan hingga berada jauh di bawah standar kelayakan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini antara lain:

  1. Tarif layanan yang semakin murah
  2. Persentase potongan platform yang tidak kecil
  3. Kurangnya perlindungan sosial dan ketenagakerjaan
  4. Biaya operasional yang terus meningkat

Ketimpangan Hak dan Kewajiban dalam Hubungan Kemitraan

Risiko yang Dibebankan kepada Mitra

Dalam sistem kemitraan yang diterapkan saat ini, terdapat ketimpangan yang signifikan dalam distribusi hak dan kewajiban antara perusahaan aplikasi dan para mitra. Risiko pekerjaan sebagian besar dibebankan kepada mitra:

  • Jaminan sosial dan kesehatan harus ditanggung sendiri
  • Risiko kecelakaan kerja menjadi tanggung jawab pribadi
  • Tidak ada jaminan pendapatan minimum
  • Biaya pemeliharaan kendaraan dan peralatan kerja ditanggung sendiri
  • Tidak ada perlindungan saat sakit atau tidak dapat bekerja

"Mereka jaminan sosial memang bisa BPJS tapi harus ditanggung sendiri. Kalau ada kecelakaan kerja itu jadi risiko yang mereka tanggung sendiri. Mereka tidak mendapatkan insentif-insentif pengupahan yang seharusnya bisa didapatkan oleh pekerja," jelas seorang narasumber dalam wawancara penelitian.

Kontrol Platform Tanpa Kewajiban Sepadan

Di sisi lain, perusahaan aplikasi menikmati kontrol yang besar terhadap para mitra tanpa kewajiban yang sepadan:

  1. Menentukan tarif layanan secara sepihak
  2. Memberlakukan sistem evaluasi dan penilaian kinerja
  3. Menerapkan aturan dan sanksi
  4. Mengubah ketentuan kemitraan tanpa negosiasi setara

Ketimpangan ini menempatkan para mitra dalam posisi yang sangat rentan dan bergantung pada kebijakan perusahaan aplikasi tanpa daya tawar yang memadai.

Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Gig Economy

Kelemahan Definisi Hubungan Kerja dalam UU Ketenagakerjaan

Persoalan utama yang dihadapi para pekerja gig economy adalah ketiadaan perlindungan hukum akibat definisi hubungan kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terbatas dan tidak adaptif terhadap perubahan lanskap ketenagakerjaan di era digital.

"Secara empiris mereka pekerja, tapi secara normatif enggak. Mereka jadi secara normatif enggak terlindungi. Padahal secara empiris, secara kenyataan mereka pekerja, mereka melakukan pekerjaan. Mereka sebenarnya memerlukan perlindungan sebagai pekerja. Tapi secara normatif perlindungan itu enggak bisa didapatkan karena mereka enggak masuk ke dalam definisi hubungan kerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan," jelas seorang ahli hukum ketenagakerjaan.

Perlunya Reformasi Hukum Ketenagakerjaan

Mengingat semakin pentingnya peran ekonomi gig dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia, ada urgensi untuk melakukan reformasi pada hukum ketenagakerjaan yang ada. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan:

  1. Redefinisi hubungan kerja: Memperluas definisi hubungan kerja untuk mengakomodasi bentuk-bentuk pekerjaan baru di era digital.
  2. Standar perlindungan minimum: Menetapkan standar minimum perlindungan bagi semua jenis pekerja, termasuk pekerja gig economy.
  3. Kategori baru dalam ketenagakerjaan: Membuat kategori baru dalam hukum ketenagakerjaan yang secara khusus mengatur hubungan antara platform digital dan pekerjanya.

"Kita perlu mendiskusikan ulang sebenarnya definisi hubungan kerja tuh seperti apa. Siapa yang kemudian bisa masuk ke dalam pekerja dalam hubungan kerja. Dan harapannya pekerja-pekerja platform ini tadi juga bisa dimasukin ke dalam situ supaya jelaslah perlindungan," ungkap seorang pakar kebijakan publik.

Pembelajaran dari Praktik Global dalam Melindungi Pekerja Gig Economy

Model Regulasi di Negara Lain

Beberapa negara telah melakukan terobosan dalam mengatur status dan perlindungan bagi pekerja gig economy yang dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia:

  1. Uni Eropa: Mengeluarkan direktif yang mengklasifikasikan pekerja platform digital sebagai karyawan, bukan kontraktor independen, jika platform mengontrol kondisi kerja mereka.
  2. California, AS: Menerapkan "ABC Test" melalui undang-undang AB5 untuk menentukan status pekerja, yang mengakibatkan banyak pekerja gig diklasifikasikan sebagai karyawan.
  3. Spanyol: Telah mengesahkan undang-undang "Riders Law" yang mengakui pengemudi pengiriman makanan sebagai karyawan dari platform digital.
  4. Australia: Memperkenalkan perlindungan minimum bagi pekerja gig melalui keputusan Fair Work Commission.

Alternatif Model Hubungan Kerja

Selain mengkategorikan pekerja gig sebagai karyawan tetap, ada beberapa model alternatif yang dapat dipertimbangkan:

  1. Model hibrid: Mengombinasikan fleksibilitas hubungan kemitraan dengan perlindungan dasar hubungan kerja.
  2. Dependent contractor: Membuat kategori baru yang berada di antara karyawan dan kontraktor independen.
  3. Portable benefits: Sistem di mana manfaat dan perlindungan "mengikuti pekerja" terlepas dari status kerja mereka.

Rekomendasi untuk Perbaikan Sistem

Untuk Pembuat Kebijakan

  1. Revisi UU Ketenagakerjaan: Memperluas definisi hubungan kerja untuk mengakomodasi pekerja gig economy.
  2. Regulasi khusus platform digital: Menciptakan kerangka hukum yang khusus mengatur tanggung jawab platform digital terhadap pekerjanya.
  3. Perlindungan minimum: Menetapkan standar perlindungan minimum bagi semua pekerja, terlepas dari status mereka.
  4. Jaminan sosial inklusif: Mendesain sistem jaminan sosial yang dapat mengakomodasi pekerja non-standar.

Untuk Perusahaan Aplikasi

  1. Transparansi algoritma: Membuka informasi tentang cara kerja algoritma yang memengaruhi pendapatan dan kondisi kerja mitra.
  2. Dialog sosial: Membuka ruang dialog dengan perwakilan mitra untuk negosiasi kondisi kerja yang lebih adil.
  3. Tanggung jawab sosial: Mengalokasikan sebagian keuntungan untuk perlindungan dan kesejahteraan mitra.

Untuk Pekerja Gig

  1. Organisasi kolektif: Membentuk asosiasi atau serikat untuk memperkuat posisi tawar kolektif.
  2. Literasi digital dan finansial: Meningkatkan pemahaman tentang cara kerja platform dan pengelolaan keuangan.
  3. Diversifikasi pendapatan: Tidak bergantung pada satu platform sebagai sumber penghasilan tunggal.

Kesimpulan

Status "mitra" yang disematkan kepada pekerja gig economy di Indonesia tidak mencerminkan realitas hubungan kerja yang sebenarnya terjadi. Ketiadaan payung hukum yang memadai telah menciptakan situasi di mana pekerja platform digital berada dalam posisi yang rentan tanpa perlindungan yang sepadan dengan kontribusi mereka.

Reformasi hukum ketenagakerjaan menjadi kebutuhan mendesak untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan pekerja gig economy. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang ahli kebijakan publik: "Saya pribadi beranggapan bahwa mengkategorikan mereka sebagai pekerja itu jauh lebih memberikan perlindungan hukum dibandingkan kita membuat kategorisasi baru soal mitra atau pekerja dalam hubungan kemitraan."

Pada akhirnya, pertanyaan tentang status pekerja gig economy bukanlah sekadar perdebatan terminologi, melainkan isu fundamental tentang keadilan sosial dan perlindungan bagi jutaan pekerja yang telah mentransformasi lanskap transportasi dan logistik di Indonesia.

Apakah Anda seorang pekerja gig economy atau memiliki pengalaman bekerja dengan sistem kemitraan? Bagikan pengalaman dan pandangan Anda di kolom komentar di bawah. Mari berdiskusi tentang bagaimana kita dapat menciptakan ekosistem kerja digital yang lebih adil dan melindungi semua pihak.

Jangan lupa untuk berlangganan newsletter kami untuk mendapatkan update terbaru seputar isu-isu sosial dan ekonomi di Indonesia.

FAQ (Frequently Asked Questions)

Apa perbedaan utama antara status mitra dan karyawan tetap?

Perbedaan utama terletak pada hubungan hukum dan perlindungan yang diperoleh. Karyawan tetap memiliki hubungan kerja formal yang dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan, mendapatkan hak-hak seperti upah minimum, tunjangan, jaminan sosial, cuti, dan perlindungan dari PHK sepihak. Sementara mitra dianggap sebagai entitas bisnis independen yang bekerja sama dengan platform tanpa jaminan pendapatan minimum, tidak mendapat tunjangan, harus menanggung biaya operasional sendiri, dan tidak memiliki keamanan kerja yang sama.

Apakah pekerja gig economy dapat menuntut status sebagai karyawan tetap?

Secara hukum saat ini, pekerja gig economy di Indonesia menghadapi tantangan besar untuk mendapat pengakuan sebagai karyawan tetap karena definisi hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan yang sempit. Namun, beberapa upaya litigasi di beberapa negara telah berhasil mengubah status pekerja gig menjadi karyawan melalui pengadilan. Di Indonesia sendiri, ini membutuhkan perubahan kebijakan atau interpretasi hukum yang lebih progresif oleh pengadilan.

Bagaimana sistem jaminan sosial berlaku untuk pekerja gig economy?

Saat ini, pekerja gig economy dapat mengakses jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, namun mereka harus mendaftar secara mandiri sebagai pekerja bukan penerima upah (BPU) dan membayar iuran secara penuh tanpa kontribusi dari perusahaan aplikasi. Hal ini berbeda dengan karyawan tetap yang iuran jaminan sosialnya sebagian ditanggung oleh pemberi kerja.

Mengapa perusahaan aplikasi lebih memilih model kemitraan daripada mempekerjakan karyawan tetap?

Perusahaan aplikasi memilih model kemitraan karena beberapa alasan: (1) Efisiensi biaya, karena tidak perlu membayar tunjangan, jaminan sosial, dan kewajiban pemberi kerja lainnya; (2) Fleksibilitas dalam mengelola tenaga kerja sesuai permintaan pasar; (3) Menghindari kewajiban hukum yang melekat pada status pemberi kerja; (4) Kemampuan untuk menskalakan bisnis dengan cepat tanpa beban kewajiban jangka panjang terhadap pekerja.

Apa saja langkah yang dapat diambil pekerja gig economy untuk melindungi hak-hak mereka saat ini?

Pekerja gig economy dapat mengambil beberapa langkah untuk melindungi hak-hak mereka: (1) Bergabung atau membentuk asosiasi pekerja gig untuk memperkuat posisi tawar kolektif; (2) Mendaftar BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan secara mandiri untuk mendapatkan perlindungan dasar; (3) Mempelajari dengan seksama kontrak kemitraan dan memahami hak serta kewajiban mereka; (4) Mendokumentasikan praktik-praktik yang merugikan sebagai bukti jika terjadi sengketa; (5) Aktif mengikuti perkembangan regulasi dan mengadvokasi perbaikan sistem melalui kanal-kanal yang tersedia.